Etika Profesi Hukum
A. Pengertian Pfofesi
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan pengertian profesi adalah bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan
sebagainya) tertentu.
Sejalan
dengan pengertian profesi diatas, Habeyb menyatakan bahwa profesi adalah
pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencarian. Sementara itu menurut
Kamaruddin, profesi ialah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut
pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang istimewa[1].
Pada
intinya profesi diartikan sebagai pekerjaan (tetap) untuk memperoleh nafkah
(Belanda: baan; Inggris: job atau occupation), yang legal maupun yang tidak.
Jadi, profesi diartikan sebagai setiap pekerjaan untuk memperoleh uang. Dalam
arti yang lebih teknis, profesi diartikan sebagai setiap kegiatan tetap
tertentu untuk memperoleh nafkah yang dilaksanakan secara berkeakhlian yang
berkaitan dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi dengan
menerima bayaran yang tinggi. Keakhlian tersebut diperoleh melalui proses
pengalaman, belajar pada lembaga pendidikan (tinggi) tertentu, latihan secara
intensif, atau kombinasi dari semuanya itu.
Dalam kaitan
pengertian ini, sering dibedakan pengertian profesional dan profesionalisme
sebagai lawan dari amatir dan amatirisme, misalnya dalam dunia olah-raga, yang
sering juga dikaitkan pada pengertian pekerjaan tetap sebagai lawan dari
pekerjaan sambilan[2].
Menurut Frans
Magnis Suseno, profesi itu harus dibedakan dalam dua jenis, yaitu profesi pada
umumnya dan profesi luhur. Profesi pada umumnya, paling tidak ada dua prinsip
yang wajib ditegakkan yaitu:
1. Prinsip agar menjalankan profesinya
secara bertanggung jawab; dan
2. Hormat terhadap hak-hak orang lain.
Dalam profesi
yang luhur motifasi utamanya untuk memperoleh nafkah dari pekerjaan yang
dilakukannya, disamping itu juga terdapat dua prinsip yang penting, yaitu:
a. Mendahulukan kepentingan orang
yang di bantu; dan
b. Mengabdi pada tuntutan luhur
profesi.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan
pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
Profesi
hukum merupakan salah satu dari sekian profesi lain, misalnya profesi dokter,
profesi teknik, dn lain-lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena
profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia yang lazim
disebut dengan klien. Profesi hukum mempunyai keterkaitan dengan bidang-bidang
hukum yang terdapat dalam negara kesatuan Repoblik Indonesia, misalnya
kehakiman, kejaksaan, kepolisian, mahkamah agung, serta mahkamah konstitusi[3].
Profesi hukum
adalah profesi untuk mewujudkan
ketertiban berkeadilan yang memungkinkan manusia dapat menjalani kehidupannya
secara wajar (tidak perlu tergantung pada kekuatan fisik maupun
finansial). Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan adalah kebutuhan dasar
manusia, dan Keadilan merupakan Nilai dan keutamaan yang paling luhur serta
merupakan unsur esensial dan martabat manusia.
Menurut bahasa praktisi profesi hukum adalah penggiat,
pekerja atau pelaku dalam bidang hukum.[4]
Jadi profesi hukum adalah mereka yang berkerja dan melakukan kegiatan dibidang
hukum sebagai mata pencaharian. Dewasa ini profesi hukum menjadi daya tarik
tersendiri, akibat terjadinya suatu paradigma baru dalam dunia hukum, yang
mengarah pada peningkatan penegakan hukum. Apalagi dewasa ini isu pelanggaran
hak asasi manusia semakin marak diperbincangkan dan telah menjadi wacana publik
yang sangat menarik.
B. Kode Etik Profesi Hukum
Etika atau kode etik profesi hukum
adalah norma moral yang harus ditaati oleh mereke yang berprofesi dibidang
hukum. Untuk membuat hukum yang baik diperlukan oleh orang-orang yang memiliki
moral dan etika yang baik. Demikian juga untuk melaksanakan dan penegakkannya.
Beberapa contoh bidang-bidang profesi penegak hukum antara lain:
- Kode Etik Hakim
Kode etik profesi hakim adalah norma
etika yang berlaku dan harus ditaati oleh hakim, organisasi ini dibuat oleh
organisasi mereka yang berprofesi sebagai hakim, yaitu Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI), dalam munas IKAHI VIII di Bandung tanggal 30 Maret 2001 diputuskan
profesi kode etik hakim Indonesia. Dalam kode etik tersebut
antara lain dinyatakan.
- Kode etik profesi hakim dan pedoman tingkah laku
- Maksud dan tujuan
- Sifat hakim
- Sikap hakim
- Kewajiban dan larangan hakim
- Komisi Kehormatan profesi hakim
- Sangsi
- Pemeriksaan.
2. Kode Etik
Jaksa
Sebagai pelengkapan dari pembinaan dan
etika profesi sebagai jaksa berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep/074/j.a.7/1978
tanggal 17 Juli 1978 disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini merupakan perangkat
kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambang cita-cita kejaksaan dan pengikat
jiwa korps kejaksaan. Pada panji tersebut terdapat lambang korps kejaksaan.
Kode etik jaksa serupa dengan kode
etik profesi yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman
berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai
dengan tujuan akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral
yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara
kita akan mengarah pada keberhasilan.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara
indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah
satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang
di ahadapan hukum (equality before the law).[5]
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di
bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan
kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini,
diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam
sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya
dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali
masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang
memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tuigas
penegakan hokum dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka
dikeluarkanlah kode prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan jaksa
agung RI (PERJA) No. : Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Dalam kode perilaku jaksa antara lain disebut:
1) Mentaati
kaidah hukum, peraturan perundang-undang dan
peraturan kedinasan yang berlaku
2) Menghormati
prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang diatur
dalam KUHAP.
3) Berdasarkan
pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan kebenaran
4) Bersikap
mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan/ ancaman, opini public secara langsung
atau tidak langsung
5) Bertindak
secara objektif dan tidak memihak
6) Memberitahukan
dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa maupun korban
7) Membangun
dan memelihara hubungan antara aparat penegak hokum dan mewujudkan system
peradilan pidana terpadu
8) Mengundurkan
diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau financial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung
9) Menyimpan
dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan
10) Menghormati
kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan.
11) Menghormati
dan melindungan hak-hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang
tertera dalam peraturan perundang-undang dan instrument hak asasi manusia yang
diterima secara universal.
12) Menanggapi
kritik dengan arif dan bijaksana
13) Bertanggung
jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
14) Yang
bertanggung jawab secara eksternal kepada public sesuai dengan kebijakan
pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.
Dalam menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
1) Menggunakan
jabatan dan atau kekuasaanya untuk kepentingan pribadi atau pihak lain
2) Merekayasa
fakta-fakta hokum dalam penanganan perkara
3) Menggunakan
kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik atau dan
psikis
4) Meminta
dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan serta melarang keluarganya
meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan sehubungan dengna
jabatannya
5) Menangani
perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, atau mempunyai
hubungan pekerjaan, partai, atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara
langsung atau tidak langsung
6) Bertindak
diskriminatif dalam bentuk apapun
7) Membentuk
opini public yang dapat merugikan kepentingan kepenegakan hokum
8) Memberikan
keterangan kepada public kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang
ditangani
Sanksi
Jaksa yang melanggar akan diberikan sanksi yang sesuai
dengan pasal 5, yaitu;
(1)
Pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa terhadap Kode Perilaku Jaksa dapat
berupa tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melakukan perbuatan yang dilarang.
Jaksa yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melakukan perbuatan yang
dilarang dapat dijatuhi tindakan administratif.
(2)
Penjatuhan tindakan administratif kepada Jaksa berdasarkan Kode Perilaku Jaksa
tidak menghapuskan pemberian sanksi pidana, antara lain berdasarkan KUHP,
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dsb; pemberian sanksi berdasarkan
Undang-Undang Kejaksaan dan turunannya serta pemberian hukuman disiplin pegawai
negeri berdasarkan PP 30 Tahun 1980.
(3a) Tindakan
administratif berupa pembebasan dari tugas-tugas Jaksa berarti pencabutan
segala wewenang yang melekat pada fungsi Jaksa.
(3b) Tindakan
administartif berupa pengalihtugasan pada satuan unit kerja yang lain maksudnya
adalah pengalihtugasan pada satuan unit kerja yang kelasnya lebih rendah
paling singkat selama 1 (satu) tahun, dan paling lama 2 (dua) tahun. Setelah
masa menjalani tindakan administratif selesai, maka Jaksa yang bersangkutan
dapat dialihtugaskan lagi ketempat yang setingkat dengan pada saat sebelum
menjalani tindakan administratif.[6]
3. Kode Etik
Advokat
Adokat bebas dalam menjalankan tugas
profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang
pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Hak Imunitas Advokat
adalah hak advokat yang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Hak atas informasi dalam menjalankan
profesinya advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik
dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan untuk pembelaan
kepentingan lainnya.
Advokat dalam menjalankan tugas
dilarang membeda-bedakan karena jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras,
atau latar belakang sosial dan budaya. Advokat tidak dapat diidentikan dengan
kliennya dalam membela perkara kliennya.
Advokat wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diketahui dari kliennya, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang. Advokat berhak atas kerahasian hubungannya dengan klien,
termasuk perlindungan atas dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan
perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik. Advokat juga wajib
memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien, dan
tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan
kliennya.
Advokat dilarang memegang jabatan
lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa
sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan
dalam menjalankan tugas profesinya. Advokat yang menjadi pejabat negara tidak
melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.[7]
- Kode Etik Notaris
Dasar hukum mengenai keberadaan
Notaris/lembaga notariat terdapat pada Buku Ke-empat KUH Perdata tentang
Pembuktian dan Kedaluwarsa. Dikenal adanya alat bukti tertulis, alat bukti
tertulis yang paling kuat adalah berbentuk akta otentik.
Yang dimaksudkan dengan akta otentik
(Pasal 1868 KUH Perdata) adalah suatu akta yang didalam bentuk yang telah
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai /
pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik ini ditentukan,
dengan undang-undang. Notaris diatur dalam NOTARIS REGLEMENT S. 1860 No. 3 yang
menggantikan Instructie voor Notarissen in Indonesia S. 1822 No. 11. Yang
disebut NOTARIS adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan, dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya dan prosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan pada pejabat atau orang-orang lain.
Inti tugas Notaris sebagai Pejabat
Umum adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan-hubungan hukum
antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa-jasa notaris, yang pada
asasnya sama dengan tugas hakim memberi putusan tentang keadilan para pihak
yang bersengketa.
Notaris merupakan jabatan bebas dari pengaruh tekanan, maka
jabatan notaris diangkat oleh kepala negara. Notaris dalam membuat grosse akta
tertentu dicantumkan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” ini membawa konsekwensi mempunyai kekuatan eksekutorial.[8]
[1] Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (
Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ), h. 16.
[2] Arief Sidharta, Etika dan Kode Etik Profesi Hukum, Jurnal
2006, hlm. 3
[3] Sufirman Rahman dan Nurul
Qamar, Etika Profesi Hukum ( Cet. I;
Makassar: Pustaka Refleksi, 2014 ), h. 76-77.
[4] Tim Redaksi Pusat Bahasa
Nasional, Tesaurus Pusat Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan Nasional,
2008), h 392
[5] Supriadi, Etika daan
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2006 ), h.
127
[6] Evy Lusia Ekawati, Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam
Penanganan Perkara Perdata, (Yogyakarta: Genta Publishing,2012), hal. 12.
[7] Munir Fuady, Profesi Mulia: Etika Profesi bagiHakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus, (Jakarta:
Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 83.
[8] A. A.Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa
Notaris di Indonesia, (Malang: Selaras, 2012), hal.4-6.

Komentar
Posting Komentar