Hukum Pengangkutan




 Hukum Pengankutan

A. Pengertain Pengankutan
Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau mimindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Pengangkutan menurut Purwosutjipto adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana si pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengankutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayarkan utang angkutan.[1]
Menurut Pasal 466 KUHD yang dimaksud dengan pengangkutan adalah seseorang (atau suatu badan) yang berdasarkan suatu perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian charter waktu maupun perjanjian charter perjalanan maupun perjanjian lainya, mengikat dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang melalui laut baik untuk seluruhnya maupun sabagiannya.[2]
Sedangkan menurut  Abdulkadir Muhammad pengangkutan berasal dari kata dasar “angkut” yang berarti angkat dan bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atu mengirimkan. Pengangkutan artinya pengangkatan dan pembawaan barang atau orang yang diangkut.[3]
Adbulkadir Muhammad berpendapat Pengangkutan meliputi tig dimensi pokok yaiyu : Pengangkutan sebagai usaha (business), pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan pengangkutan sebagai proses (process).[4]
            HMN Purwosutjipto berpendapat Perjanjian timbale balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelanggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, Sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkut.[5]
            Dipandang dari sudut keperdataan hukum pengankutan adalah keseluruhan peraturan-peraturan didalam dan diluar kodifikasi (KUH Per dan KUHD) yang bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum, yang terbit karena keperluan pemindahan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari pejanjian-perjanjian tertentu, termasuk juga perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantara mendapatkan pengangkutan.[6]
Dalam defenisi pengankutan tersebut dapat diketahui berbagai aspek penganktan sebagai berikut:
1. Pelaku yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang merupakan badan usaha, seprti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang berupa manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan.
2. Alat pengangkutan yaitu alat yang digunakan untuk menyelanggarakan pengangkuan, alat ini digerakan secara mekanik dan memenuhi syarat dan Undang-undang seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, dan derek.
3. Barang atau penumpang yaitu muatan yang diangkut, barang muatan yang diangkut adalah barang pedagangan yang sah menurut Undang-undang. Dalam pengertian juga hewan.
4. Perbutan yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di tempat tujuan yang ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang (tenaga kerja).
6. Tujuan pengangkutan yaitu sampai atu tiba di tempat tujuan yang di tentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas.
B. Asas-asas hukum pengangkutan
Merupakan landasan filosofis yang diklasifikasikan menjadi dua yaitu:[7]
1)      Yang bersifat perdata; dan
2)      Yang bersifat public
Asas-asas yang bersifat publik terdapat pada tiap-tiap Undang-Undang pengangkutan baik darat, laut, dan udara. Asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim barang.
Asas-asas hukum pengangkutan yang bersifat perdata menurut Abdulkadir Muhammad (1998: 18-19) adalah sebagai berikut:
a.   Konsensual yaitu, Pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan.
b.   Koordinatif yaitu, Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang/pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian pemberian kuasa.
c.   Campuran yaitu, Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.
d.   Retensi yaitu, Pengangkutan tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkutan hanya mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.
e.   Pembuktian dengan dokumen yaitu, Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa karcis/tiket penumpang.
Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:
1.   Asas manfaat yaitu, bahwa pengangkutan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara. Contoh : Adanya angkutan Umum Bus Way di jakarta. Salah satu solusi efektif dalam mengatasi kemacetan di jakarta. Dimana dengan adanya Busway, masyarakat jauh lebih mudah dalam hal mengatasi macet di jakarta sehingga perekonomian juga bisa bergerak lebih cepat.
2.   Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang\\pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan. Contoh : Pengiriman uang melalui WESTERN UNION. Dimana dengan western union, pengiriman uang dapat di laksanakan hampir di seluruh wilayah indonesia guna mendukung kemakmuran masyarakat indonesia melalui kerjasama PT. POS INDONESIA, Bank di seluruh Indonesia, dan jasa Pengangkutan darat, laut, maupun udara.
3.   Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penegangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Contoh : Merpati Airlines memiliki beberapa pesawat perintis di seluruh indonesia. Tetapi rute terbanyak di tujukan kepada rute ke pulau jawa. Dimana, mereka memberikan pelayan terbaik bagi penumpangnya dengan harga terjangkau.
4.   Asas keseimbangan yaitu, bahwa pengangkutan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional. Contoh : Restruksi pelayanan Perkereta Apian dewasa ini,  dimana mereka menaikkan harga tiket kereta api dengan peningkatan pelayanan di bidang fasilitas gerbong, stasiun, dan ticketing guna kenyamanan dan keamanan pengguna jasa kereta api.
5.   Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan pengangkutan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas. Contoh : PT. POS INDONESIA memiliki cabang di seluruh wilayah negara indonesia guna melayani pengiriman barang dan jasa demi kepentingan bersama masyarakat indonesia.
6.   Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan Pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda transportasi. Contoh : Di dalam dunia penerbangan, setiap pesawat maskapai penerbangan wajib di cek oleh petugas bandara, pilot harus berkomunikasi dengan pihak terminal bandara,dan pihak terminal menentukan jalur penerbangan, dimana dari setiap elemen dalam penerbangan harus selaras dan berkesinambungan guna meminimalisirkan setiap resiko sekecil mungkin.
7.   Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan. Contoh : Truk pasir yang membawa pasir gunung ketika melewati jembatan timbang selalu menimbangkan berat beban kendaraannya dan mengijinkan petugas mengecek barang bawaannya.

8.   Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa Pengangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. Contoh : Prima Taxi merupakan badan usaha yang di ijinkan memonopoli jalur taxi di bandara juanda dimana badan usaha tersebut berbentuk koperasi PRIMKOPAL.
9.   Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan. Contoh : PT. Lion Air mengasuransikan penumpangnya kepada PT. Sinar Mas sebagai Perusahaan Asuransi dimana dengan tujuan menjamin keselamatan penumpang penerbangan udara yang memakai Maskapai Lion Air.
C. Fungsi dan Tujuan Pengangkutan
            Pada dasarnya pengangkutan sendiri berfungsi untuk memindahkan barang atua orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. R. Soekardono mengatakan bahwa: “Pengangkutan pada umumnya berisikan perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapain dan meninggikan manfaat serta efisiensi.[8]
            Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan mempunyai dua nilai kegunaan yaitu:
1. Kegunaan Waktu ( Time Utility )
            Dengan adanya pengangangkutan beranti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat ke teampat yang lain dimana barang itu lebih di perlukan tepat pada waktunya.
2. Kegunaan Tempat ( Place Utility)
            Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat, ketempat lain yang menyebabkan barang tadi lebih bermanfaat.
D. Prinsip Dasar Pengangkutan
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu antara pengangkut dan pengirim adalah sama tinggi.Hubungan kerja di dalam perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim tidak secara terus menerus, tetapi sifatnya hanya berkala, ketika seorang pengirim membutuhkan pengangkut untuk mengangkut barang. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian pengangkutan mengandung tiga prinsip tanggung jawab, yaitu
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pengangkut, prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur pada pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak
Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan.
Dalam suatu pengangkutan bila undang-undang tidak menentukan syarat atau halyang dikehendaki para pihak maka para pihak dapat mengikuti kebiasaan yangtelah berlaku atau menentukan sendiri kesepakatan bersama, tentunya hal tersebutharus mengacu pada keadilan. Tujuan pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak-hak para pihak yang terlibat dalam pengangkutan. Kewajiban dari pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan berhak menerima biaya pengangkutan. Sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan pengangkutan yang wajar.
E. Sifat hukum pengangkutan.
Pada dasarnya didalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengguna jasa adalah sama tinggi atau sejajar, jadi tidak ada yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah.
Mengenai sifat hukum pengangkutan itu ada beberapa pendapat, antara lain yaitu:
1.      Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala.
2.      Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan
3.      Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala ini dipertahankan atau dikemukakan oleh Polak, Molengraff, Vollmar dan Soekardono. [9]


F. Cara terjadinya perjanjian pengangkutan.
Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat dilakukan dengan dua acara, yaitu cara langsung dan tidak langsung.
a.       Penawaran dari pihak pengangkut
Pertama dengan cara langsung, dimana pengangkut menghubungi langsung pihak penumpang dalam hal ini berarti kapal menyinggahi pelabuhan untuk memuat penumpang, atau yang kedua dengan cara tidak langsung dimana pengangkut memasang pengumuman atau iklan sehingga pengangkut hanya menunggu permintaan dari penumpang
b.      Penawaran dari pihak penumpang
Pertama dengan cara langsung, dimana penumpang menghubungi langsung pihak pengangkut, atau dengan cara yang kedua, dimana dalam hal ini meggunakan jasa agen perjalanan

Saat terjadinya perjanjian pengangkutan dalam Undang-Undang tidak diatur secara jelas, tetapi perjanjian pengangkutan ini hanya berdasarkan persetujuan kehendak yang diatur dalam pasal 1320 KUHPer, perjanjian pengangkutan selalu dilakukan secara lisan tapi dibuktikan dengan adanya tiket penumpang atau karcis penumpang.
Pada tiket tersebut tercantum tanggal pengeluarannya dimana perjanjian tersebut terjadi sejak tanggan pengeluaran tersebut. Dan mulai tanggal tersebut, pengangkut wajib melaksanakan angkutannya. Tiket penumpang itu selalu diterbitkan atas nama sehingga karcis penumpang ini tidak boleh digunakan oleh orang lain selain penumpang yang bersangkutan. Hal-hal yang biasanya tertera dalam karcis penumpang adalah sebagai berikut:
a.       Nama perusahaan pengangkut
b.      Pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan
c.       Nama dan alamat yang jelas dari penumpang
d.      Nomor seri karcis, tanggal, waktu dan hari keberangkatan
e.       Kelas dan nomor kamar/tempat tidur
f.       Biaya angkutan yang sudah termasuk premi asuransi
g.      Tanda tangan dari pengangkut atau orang atas nama pengangkut
h.      Ketentuan-ketentuan lain sebagai klausula angkutan[10]
Prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan.
1.      Prinsip Presumption of Liability
Prinsip Presumtion of Liability  menyatakan bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang disebabkan oleh pengangkut sebagai akibat adanya perjanjian pengangkutan. Akan tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahannya, maka pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab atau ganti rugi. Beban pembuktian ada pada pengangkut.
Ciri prinsip ini adalah:
a.       Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena adanya perjanjian pengangkutan.
b.      Beban pembuktan ada pada pengangkut.
c.       Antara pengangkut dan pengguna jasa angkutan terdapat perjanjian pengangkutan.
2.      Prinsip Presumption of Non Liability
Prinsip Presumption of Non Liability menyatakan bahwa pengangkut dianggap tidak selalu bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang diangkut, kecuali jika penumpang tidak dapat membuktikan bahwa barang tersebut rusak atau hilang karena kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada penumpang. Prinsip ini hanya bisa diterapkan terhadap bagasi tangan (Hand Baggage) saja.
3.      Prinsip Absolute Liability
Prinsip Absolute Liability menyatakan bahwa pengangkut harus bertanggung jawab membayar kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari penyelenggaraan pengangkutan. Dalam prinsip ini, pengangkut bersalah ataupun tidak bersalah, tetap harus bertanggung jawab. Dengan alasan apapun pengangkut tidak bisa mengelak atau membebaskan diri dari tanggung jawab. Dalam prinsip ini tidak dikenal prinsip pembuktian.
4.      Prinsip Based on Fault
Prinsip Based on Fault menyatakan bahwa tiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan, harus bertanggung jawab atas membayar ganti rugi sebagai akibat dari kerugian yang ditimbulkan oleh pegangkutan. Dalam prinsip ini, beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut maupun penumpang. Pihak yang dirugikan adalah pihak ketiga yang tidak terlibat dalam penyelenggaraan pengangkutan atau pihak yang berada diluar perjanjian pengangkutan.
5.      Prinsip Limitation of Liability
Prinsip Limitation of Liability merupakan tanggung jawab pengangkut yang dibatasi sampai jumlah atau limitasi tertentu, yang tujuannya adalah membatasi besar tanggung jawab pengangkut terhadap pengguna jasa angkutan[11].
G. Subyek hukum pengangkutan.
Pengertian yang berlaku umum dalam hukum, subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subyek hukum pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan.
Subyek hukum, dalam hukum pengangkutan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Pihak-pihak yang berada dalam perjanjian pengangkutan
2.      Pihak-pihak yang berada diluar perjanjian pengangkutan, tetapi memiliki kepentingan atau keterkaitan terhadap pelaksanaan pengangkutan.
Para pihak yang berada dalam perjanjian pengangkutan meliputi:
1.      Pengangkut
Pengangkut adalah pihak yang menyelenggarakan pengangkutan baik, di darat, laut, dan udara. KUHD tidak mengatur mengenai definisi dari pengangkut, tetapi secara umum, definisi dari pengangkut adalah “pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dana atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat.
2.      Pengguna jasa
Termasuk dalam kategori pengguna jasa adalah:
a.       Pengirim barang (shipper) artinya orang atau badan usaha yang mengirimkan barang dengan menggunakan jasa angkutan, baik melalui darat, udara maupun laut. Pengirim barang bertindak sebagai subyek hukum sementara barang yang dikirim oleh pengengkut merupakan obyek dari pengangkutan.
Istilah ini merupakan istilah lain dari “pengguna jasa” dalam angkutan barang
b.      Penumpang (passanger) artinya orang-orang yang menggunakan jasa angkutan dalam pengangkutan darat, laut dan udara, untuk mengangkut dirinya dari satu tempat ke tempat lain yang menjadi tujuan. Penumoang selain bertindak sebagai subyek (pihak yang membuat perjanjian pengangkutan) dan sebagai obyek (sebagai muatan yang diangkut oleh pengangkut dengan menggunakan alat angkutan). Istilah ini merupakan istilah lain dari “pengguna jasa” dalam angkutan Orang.
3.      Pihak Ketiga (Third Party)
Secara umum, pihak ketiga diartikan sebagai pihak yang berada “diluar perjanjian pengangkutan” atau pihak yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan Pengangkut maupun pengguna jasa secara langsung.
Pihak ketiga yan dimaksud disini, contohnya:
a.       Pejalan kaki
b.      Pengendara kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
4.      Perusahaan asuransi
Adanya perusahaan asuransi disini terkait dengan “kewajiban” dari pengangkut untuk mengasuransikan tanggung jawabnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pengangkutan. dimana hal ini terdapat dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, diatur mengenai suransi yang menyatakan bahwa “Setiap kendaraan umum wajib diasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraan”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut adanya pengaturan mengenai kewajiban mengasuransikan tanggung jawab dari pengangkut adalah untuk kepentingan dari pengangkut dan pengguna jasa dalam hal terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kerugian terhadap pengguna jasa.[12]
H. Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya
Dalam dunia perdagangan ada tiga jenis pengangkutan antara lain :
A.      Pengangkutan melalui darat yang diatur dalam :
B.      Pengangkutan melalui laut
 1. Pengangkutan Darat
A.    Pengertian Hukum Pengangkutan Darat
Ruang lingkup angkutan darat dinyatakan sepanjang dan selebar negara, yang artinya ruang lingkupnya sama dengan ruang lingkup negara. Angkutan darat dapat dilakukan dengan berjenis-jenis alat pengangkutan, anatara lain dengan kendaraan bermotor di atas jalan raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel.[13]
Pada dasarnya pengangkutan melalui darat digunakan untuk menghubungkan kota yang satu dengan kota yang lain, atau daerah yang lain di satu pulau.
Dalam pengangkutan darat diperluka beberapa unsur yang memadai, seperti[14] :
a.)    Alat angkutan itu sendiri (Operating Facilities) seitap barang atau orang akan diangkut. Tentu saja memerlukan alat pengangkut yang memadai, baik kapasitasnya, besarnya maupun perlengkapan. Alat pengangkut yang dimaksud dapat berupa truk, kereta api, bis, dan lain sebagainya.
b.)    Fasilitas yang akan dilalui oleh alat-alat pengangkutan (right of way), fasilitas tersebut dapat berupa jalan umum, rel kereta api, dan sebagainya.
c.)    Tempat persiapan pangangkutan (terminal facilities), tempat persiapan pengangkutan ini diperlukan karena suatu kegiatan pengangkutan tidak dapat berjalan dengan efektif apabila tidak ada terminal yang dipakai sebagai tempat persiapan sebelum dan sesudah proses pengangkutan dimulai.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan, baik itu pengangkutan barang atau orang ketempat tujuan tertentu. Berarti, hukum pengangkutan darat adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik itu pengangkutan barang atau orang ketempat tujuan yang hanya dapat berlaku didaratan. Hukum pengangkutan darat terbagi menjadi dua :
1.)       Angkutan darat yang berada dijalan, contohnya seperti mobil, truk, bis, motor, dsb.
2.)       Angkutan darat yang menggunakan rel, contohnya kereta api.
Salah satu angkutan darat yang sangat bermanfaat adalah kereta api. Sarana angkutan ini merupakan sarana transportasi yang sangat digemari oleh masyarakat, karena lebih murah biayanya, daripada angkutan darat yang lainnya. Berikut ini hak dan wewenang dari penyelenggara prasarana perkereta-apian, yaitu :
a.)    Mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalan kereta api.
b.)    Menghentikan pengoperasian sarana perkereta apian apabila dapt membahayakan perjalanan kereta api.
c.)    Melakukan penerbitan terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api distasiun.
d.)   Mendahulukan perjalanan kereta api diperpotongan sebidang dengan jalan.

1.      Undang-Undang yang Mengatur Tentang Pengangkutan Darat

1.)    Diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun 2009, tentang lalu lintas dan angkutan jalan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, serta peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang angkutan jalan yang masih tetap berlaku meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No.14 Tahun 1992.
2.)    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007, tentang angkutan kereta api.
Sedangkan Pasal 3 Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UULLAJ) menyebutkan mengenai tujuan dari lalu lintas dang angkutan jalan yakni :
a.)    Terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain yang mendorang perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
b.)    Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa.
c.)    Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UULLAJ) dinyatakan Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan lalu Lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui :
a.)    Kegiatan gerak pindah kendaraan, orang, ataupun barang dijalan.
b.)    Kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
c.)    Kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dang pengemudi, pendidikan berlalu lintas, manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta penegakan hukum lalu lintas dan angkutan jalan.
Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, terdapatbeberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengemudi kendaraan angkutan umum, yaitu :
1.)    Mengangkut penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan.
2.)    Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas.
3.)    Menggunakan lajur jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah.
4.)    Menghentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan penumpang.
5.)    Menutup pintu selama kendaraan berjalan.
6.)    Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.
Selain itu di dalam UU NO. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu :
1.)    Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009)
2.)    Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009)
3.)    Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009)
4.)    Menyerahkan manifes kepada pengemudi penumpang. (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009).
5.)    Perusahaan angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dialkukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal !86 UU No. 22 Tahun 2009).
6.)    Perusahaan angkutan umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkat (Pasal 187 UU No. 22 Tahun 2009).
7.)    Perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayaran angkutan (Pasal 188 UU No. 22 Tahun 2009).
8.)    Perusahaan angkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189 UU No. 22 Tahun 2009).
Disamping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut oleh Undang-Undang, terdapat juga hak-hak yang diberikan kepada pengangkut. Hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengangkut, antara lain[15] :
1.)    Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
2.)    Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam pasal 460, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD.
3.)    Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, pekerja (sopir/pengemudi) serta penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut.
2.      Perjanjian Hukum Pengangkutan Darat
Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahuli oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisis kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim.[16]
Definisi perjanjian pengangkutan itu sendiri ialah sebagai perjanjian timbal balik dengan mana mengikatkan untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.[17]
Maksud dari kata dengan selamat diatas mengartikan bahwa barang harus sampai ditempat tujuan seperti saat barang tersebut dikirm. Keadaan tidak selamat itu sendiri mengandung dua arti yaitu :
a.)    Pada pengangkutan barang, barangnya tidak ada atau musnah atau hilang, dan jika barangnya ada tetapi rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh berbagai peristiwa.
b.)    Pada pengangkutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau menderita cacat tetap atau sementara karena suatu peristiwa atau kejadian.
Jika dua hal itu terjadi, maka pihak pengangkut barang tersebut wajib mengganti rugi. Karena hal tersebut terjadi karena kelalaian si pengangkut. Namun, dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti rugi kerugian. Beberapa hal itu adalah :
1.)    Keadaan memaksa (overmacth), maksudnya ialah kejadian-kejadian yang diluar perkiraan pengangkut atau diluar kemampuan pengangkut sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh penumpang. Overmacht termasuk dalam tindakan atau kejadian yang yang dilakukan oleh penumpang itu sendiri.
2.)    Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri.
3.)    Kelalaian terjadi disebabkan oleh pengirim atau penumpang itu sendiri.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab berdasarkan kelayakan. Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan dituliskan secara tegas dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian. Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis, maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan penting.[18]
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen pengangkut berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh pihak yang mengadakan perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan, sedangkan dokumen pengangkut penumpang disebut karcis pengangkutan. Perjanjian pengangkuta juga dapat dibuat secara tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party), seperti carter kereta api untuk mengangkut barang kiriman.[19]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak menginginkan perjanjian pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu[20] :
a.)    Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan kewajiban masing-masing.
b.)    Kejelasan rinci mengenai objek, tujuan, dan beban risko para pihak.
c.)    Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d.)   Kepastian mengenai waktu, tempat, dan alasan apa perjanjian berakhir.
e.)    Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang dikehendaki para pihak.

3.      Pihak-pihak yang Terlibat didalam perjanjian pengangkutan darat, antara lain :

a.)          Pihak Pengangkut
Secara umum, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) tidak dijumpai definisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, kewajiban-kewajiban pihak pengangkut adalah sebagai berikut :[21]
1.      Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan.
2.      Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/atau barang yang diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata).
3.      Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi:

1.)    Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranak buahan alat pengangkutnya.
2.)    Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk diapakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan.
3.)    Memeperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut.

4.      Menyerahkan muata ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

b.)    Pihak Penumpang
Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak unuk memperoleh jasa pengangkutan.
c.)    Pihak Pengirim
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia juga tidak mengatur definisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa inggris, pengirim disebut consigner.
4.      Angkutan Barang Pengangkutan Darat
Angkutan barang dalam pengangkutan darat biasanya menggunakan alat transportasi seperti, truk dan kereta api (dilakukan dengan menggunakan gerbong). Angkutan barang terdiri atas sebagai berikut :
a.)    Barang umum
b.)    Barang khusus
c.)    Bahan berbahaya dan beracun
d.)   Limbah bahan berbahaya dan beracun
Adapula syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pengangkutan umum dan khusus tersebut, yaitu :
a.)    Pemuatan, penyusunan, dan pembongkaran barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai dengan klasifikasinya.
b.)    Keselamatan dan keamanan barang yang diangkut.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pengangkutan bahan dan limbah berbahaya serta beracun yaitu :
1.)    Memenuhi persyaratan dan keselamatan sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
2.)    Menggunakan tanda sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
3.)    Menyertakan petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.
Bentuk pengiriman barang yang dikirim juga berbeda-beda, berikut adalah macam-macam bentuk pengiriman, yaitu :
a.)    Kiriman biasa (vrachtgoed)
b.)    Kiriman cepat (ijlogoed)
c.)    Pengiriman hingga kerumah alamat (bestelgoed)
d.)   Bawaan titipan dari penumpang.

5.      Asuransi Pengangkutan Darat
Produk asuransi ini memberikan jaminan ganti rugi sesuai dengan nilai barang yang dikirim baik melalui darat, laut, udara akubat kerugian financial yang dialami jasa pengiriman ataupun pemilik barang sesuai dengan nama pemegang polis. Adapun tarif asuransi dan jaminan atau benefit dari penutupan tersebut.
Berikut adalah jenis asuransi pengangkutan darat :
1.)    Total Loss Only (TLO) atau “Cover A” : 0,2%
Adalah jaminan kerugian yang memberikan penggantian apablia seluruh barang yang diasuransikan mengalami Total loss akibat dari bahaya yang terjadi selama perjalanan, kecuali yang diperjanjikan lain dalam polis. Total Loss Only ditujukan untuk memberikan perlindungan (cover) terhadap mobil jika mobil mengalami kerusakan total (Total Loss Only). Kerusakan total bisa berarti hilang karena pencurian (theft) atau bisa juga karena tingkat kerusakan  mobil mencapai lebih dari 75% dari nilai mobil pada saat terjadinya accident.
Jaminan yang diberikan adalah :
a.)    Kebakaran
b.)    Banjir
c.)    Terguling atau tergelincir alat angkut
d.)   Tabrakannya alat angkut atau barang yang diangkut dengan benda lain

2.)    All Risk atau “Cover B” : 0,3%
Adalah jaminan kerugian yang memberikan penggantian atas seluruh barang yang diasuransikan akibat dari seluruh resiko yang timbul selama perjalanan. Jaminan yang diberikan adalah semua resiko selama pengangkutan darat berlangsung.[22]
6.      Akibat yang Ditimbulkan Oleng Angkutan Darat
Sistem dan fasilitas transportasi memang diakui banyak pihak telah membawa dampak yang cukup berarti dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa seiring perkembangannya, transportasi juga membawa masalah-masalah dari setiap pergerakannya, seperti :
1.)    Masalah Lingkungan (Polusi)
Salah satu hasil dari sistem transportasi yang tidak diinginkanadalah polusi yang ditimbulkan. Polusi disini lebih dominan oleh polusi udara. Menurut jasa raharja tahun 2007, transportasi merupakan penyumbang emisi sebanyak 23,6%, penyumbang emisi yang lain adalah sektor industri, pembangkit tenaga, sektor rumah tangga, serta dari sektor komersial.
Transportasi darat turut menyumbang sebagain besar dari angka 23,6% tersebut, hal ini kembali ke pernyataan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu karena dominasi aktifitas transportasi berada didarat. Tinnginya angka emisi yang ditimbulkan oleh transportasi darat dikarenakan beberapa faktor, seperti :
a.)    Tidak ada kebijakan yang mengontrol sistem emisi transportasi
b.)    Pelaksanaan penguji kendaraan bermotor yang seharusnya wajib dilakukan secara berkala tidak berjalan dengan efektif.
c.)    Kualitas BBM yang rendah
d.)   Kesadaran masyarakat tentang bahaya emisi serta upaya dari tiap-tiap individu untuk menguranginya masih redah.
e.)    Tingginya mobilitas manusia didarat.
f.)     Rendahnya kualitas angkutan umum.

2.)    Masalah Sosial (kemacetan)
Kemacetan merupakan salah satu masalah yang dinilai paling mengganggu kenyamanan pengguna transportasi darat (kecuali perkereta-apian) kemacetan dapat mengurangi efektifitas kerja maupun kegiatan masyarakat, memperlambat manusia untuk melakukan aktifitas, meningkatkan polusi udara, polusi suara, serta merupakan pemborosan bahan bakar yang semakin hari semakin menipis.
Kemacetan lalu-lintas dijalan raya disebabkan ruas-ruas jalan sudah tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang serta luasan dari jalan tersebut tidak seimbang dengan jumlah kendaraan yang melintas. Hal ini terjadi, juga karena pengaruh hambatan samping yang tinggi, sehingga menyebabkan penyempitan ruas jalan, seperti : parkir dibadan jalan, berjualan ditrotoar dan badan jalan, pangkalan angkutan umum, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan. Selain itu kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen transportasi yang kurang baik, ditambah lagi tingginya aksesibilitasi kegunaan lahan disekitar sisi jalan tersebut.
3. Hukum pengangkutan laut


PENGERTIAN

          Di dalam lalulintas arus perpindahn barang, pengangkutan barang melalui laut menjadi alternatif yang paling diminati oleh masyarakat, hal ini dikarenakan karena unsur biaya yang relatif murah disamping angkutan melalui laut sanggup mengangkut barang-barang dalam berat dan volume yang banyak sekaligus. Pengertian pengangkutan laut menurut Pasal 466 dan Pasal 521 KUHD adalah:
 “Pengangkutan adalah barang siapa yang baik dalam persetujuan charter menurut waktu atau charter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan yang seluruhnya atau sebagai melalui lautan.”
Menurut Hamdani yang dimaksud dengan angkutan muatan laut adalah suatu usaha pelayaran yang bergerak dalam bidang angkutan muatan laut dan karenanya merupakan bidang usaha yang luas bidang kegiatannya dan memegang peranan penting dalam usaha memajukan perdagangan dalam dan luar negeri.”

SUBJEK HUKUM PENGANGKUTAN LAUT

Yang dimaksud dengan subjek pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan.[23]

1. Pengangkut (Carrier)
Istilah “pengangkut” mempunyai dua arti, yaitu sebagai pihak penyelenggaraan pengangkutan dan sebagai alat yang digunakan untuk penyelenggaraan pengangkutan. Pengangkutan dalam arti yang pertama termasuk dalam subjek pengangkutan. Sedangkan pengangkutan dalam arti yang kedua termasuk dalam objek pengangkutan. Dalam Undang-Undang (KUHD), tidak ada pengaturan definisi pengangkutan secara umum, kecuali dalam angkutan laut. Tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkutan adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Singkatnya, pengakutan adalah penyelengaraan pengangkutan.

2. Pengirim
Sama halnya dengan pengangkut, pengirim adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam KUHD juga tidak diatur definisi secara umum. Tetapi dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.

3. Penumpang
Penumpang adalah pihak dalam perjanjian pengakutan penumpang. Penumang mempunyai dua kedudukan, yaitu sebagai subjek karena ia adalah pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena ia adalah muatan yang diangkut.

4. Ekspeditur, Biro perjalanan
Menurut ketentuan Pasal 86 ayat 1 KUHD, ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya mencarikan pengangkut barang di darat atau perairan bagi pengirim. Dilihat dari perjanjiannya pengirim, ekspeditur adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur.

5. Pengatur muatan
Pengatur muatan adalah orang yang menjalankan usaha dalam bidang pemuatan barang ke kapal dn pembongkaran barang dari kapal. Pengangkut muatan adalah orang yang ahli dan pandai menempatkan barang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas itu sesuai dengan sifat barang, ventilasi yang dibutuhkan, dan barang-barang yang tidak mudah bergerak.
.
6. Perusahaan pergudangan
Perusahaan pergudangan adalah perusahaan yang bergerak dibidang usaha penyimpanan barang-barang didalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu pemuatan ke atas kapal, atau menunggu pengeluarannya dari gudang yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea dan Cukai.[24]    

 PENGANGKUTAN DAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN NIAGA

Pokok bahasan ini menguraikan dua konsep, yaitu konsep pengangkutan niaga dan konsep perjanjian niaga. Pengangkutan niaga adalah konsep mengenai gejala peristiwa, sedangkan perjanjian pengangkutan niaga adalah konsep mengenai gejala hukum yang mengatur peristiwa pengangkutan niaga.

a. Penagngkutan Niaga
Pengangkutan niaga merupakan rangakaian kegiatan (peristiwa) pemindahan penumpang dan/atau barang dari satu tempat pemuatan (embarkasi) ke tempat tujuan (disembarkasi) sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang muatan. Rangkaian peristiwa pemindahan itu meliputi kegiatan:
a.       Muatan penumpang dan/atau barang kedalam alat pengangkut.
b.      Membawa penumpang dan/atau barang ketempat tujuan.
c.       Menurunkan penumpang atau membongkar barang ke tempat tujuan.
Pengangkutan niaga yang meliputi tiga kegiatan ini merupakan satu kesatuan proses yang disebut pengangkutan niaga dalam arti luas. Di samping dalam arti luas, pengangkutan niaga juga dapat dirumuskan dalam arti sempit. Dikatakan dalam  arti sempit karena hanya meliputi kegiatan membawa penumpang dan/atau barang dari stasiun atau terminal atau pelabuhan atau bandara tempat pemberangkatan ke stasiun atau terminal atau pelabuhan atau bandara tujuan. Untuk menentukan pengangkutan niaga itu dalam arti luas atau arti sempit tergantung pada perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan masyarakat.[25]
b. Perjanjian Pengangkutan Niaga
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain tempat, sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya.
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
Perjanjian pengangkutan merupakan timbal balik dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu, dan pengiriman barang membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui bersama.
Perjanjian pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha dan penumpang sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik dikenal sebagai pembeda/pembagian perjanjian karena menimbulkan hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan, penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima pembayaran jasa pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan.
Perjanjian pengangkutan perlu mendapatkan pengaturan yang memadai dalam Undang undang Hukum Perikatan yang mana diketahui dalam B.W. kita tidak terdapat pengaturannya tentang perjanjian ini yang dapat dianggap sebagai peraturan induknya.
Pengangkutan pada hakekatnya sudah diliputi oleh Pasal dari hukum perjanjian dalam B.W. akan tetapi oleh Undang Undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bermaksud untuk kepentingan umum, membatasi kemerdekaan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan yaitu meletakkan berbagai kewajiban pada pihak si pengangkut.
Penyelenggaraan pengangkutan didasarkan pada perjanjian, hal ini berarti antara pengangkut dengan penumpang dan/atau pengirim barang harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan: “untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat yaitu kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.” Kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif, jika dilanggar menyebabkannya dapat dibatalkannya perjanjian, sedangkan suatu hal tertentu dan kecakapan merupakan syarat objektif, jika dilanggar menyebabkan batalnya perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan perjanjian pengangkutan tersebut tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan saja, asalkan ada persetujuan kehendak (concencus) dari para pihak.
Dengan demikian surat, baik berupa karcis atau tiket penumpang maupun dokumen angkutan barang bukan sebagai syarat sahnya perjanjian tetapi hanya merupakan salah satu alat bukti saja, karena dapat dibuktikan dengan alat bukti lainnya. Dengan demikian yang menjadi syarat sahnya perjanjian adalah kata sepakat, bukan karcis atau tiket penumpang atau dokumen angkutan. Tidak adanya karcis atat tiket atau dokumen angkutan tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada. Dan perjanjian tersebut juga berlaku sebagai Undang-Undang bagi pengangkut bagi pengirim barang atau penumpang, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan “semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.” 
Apabila penumpang mengalami kecelakaan ketika naik alat pengangkut, atau selama diangkut, atau ketika turun dari alat pengangkut, maka pengangkut bertanggungjawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kecelakaan yang terjadi itu. Tetepi tanggungjawab pengangkut ini dibatasi oleh Undang-Undang. Dalam Undang-Undang ditentukan bahwa, pengangkut bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian mengangkut. Sedangkan pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi mengenai kerugian yang timbul akibat:
1. Keadaan memaksa( force majeur).
2. Cacat pada penumpang atau barang itu sendiri.
3. Kesalahan atau kelalaian penumpang atau pengirim.[26]
Syarat sahnya ini diatur dalamPasal 1320 KUHPerdata yang berisi:
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2.      Cara terjadinya perjanjian pengangkutan
3.      Tanggung jawab
4.      Tangung jawab pengangkut

c. Asas Perjanjian Pengangkutan

Ada empat asas pokok yang mendasari penjanjian pengangkutan, yaitu asas konsensual, asas koordinasi, asas campuran, dan asas tidak ada hak retensi.

a.       Asas Konsensual
Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan laut, darat dan udara dibuat secara tidak tertulis (lisan), tetepi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan dokumen tertulis, melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan oelh Undang-Undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan Undang-Undang. Tetai apabila Undang-Undang tidak menentukan (tidak mengatur) kewajiban dan hak yang wajib mereka penuhi, diikutilah kebiasaan yang berakar pada kepatutan. Apabila terjadi perselisihan mereka selesaikan melalui musyawarah, atau melalui arbitrase, atau melalui pengadilan. Tetapi kenyataannya, sedikit sekaliatau hampir tidak ada perkara mereka yng diselesaikan melalui arbitrase atau pengadilan. Maka memegang prinsip lebih baik rugi dari pada rugi banyak karena biaya pengadilan, yang belum tentu pula memuaskan semua pihak.

b.      Asas Koordinasi
Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan “pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dana majikan pada perjanjian pemburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian dalam perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara ternyata pihak pengangkut bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.

c.                   Asas Campuran 
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Dengan demikian ketentuan-ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah yang berlaku. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

d.      Asas tidak ada Hak Retensi
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya menyediakan tempet penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.[27]

4.)    MACAM-MACAM PENGANGKUTAN LAUT

Pengangkutan diatur dalam beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia, seperti dalm Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang mengatur mengenai tujuan dan pengangkutan yaitu memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melaui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran nasional dalam rangka menunjang, menggerakkan dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional.
Pengangkutan itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran dan Peraturan Pelaksanaan nomor 82 Tahun 1999 Tentang Angkutan di Perairan, dibagi dalam dua bagian, antara lain:

1.      Pengangkutan Luat Dalam Negeri
Menurut Pasal 73 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan pengangkutan laut dalam negeri adalah: “penyelenggaran laut dalam negeri dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia”.
Menurut Pasal 3 Peraturan Pelaksana Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan, yang dimaksud dengan pengangkutan dalam negeri adalah: “Pelayaran yang dilakukan oleh perusahaan laut naisonal dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, untuk menghubungkan pelabuhan laut antar pulau dan angkutan laut lepas pantai di wilayah perairan Indonesia.”
2. Pengangkutan laut dalam negeri bertujuan untuk menghubungkan wilayah Indonesia yang terdiri pulau-pulau yang memiliki jarak yang berjauhan, selain itu bertujuan pula untuk menyalurkan bahan-bahan kebutuhan pokok yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh daerah yang bersangkutan. Jenis-jenis pengangkutan dalam negeri antara lain:
3.)       Pelayaran Nusantara, adalah pelayarn yang digunakan untuk kegiatan usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh, sesuai ketentuan yang ada.
4.)       Pelayaran Lokal, adalah pelayaran yang dilakukan untuk kegiatan usaha pengangkutan antar pelabuhan di Indonesia dan ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal berukuran 500 m3 isi kotor ke bawah
5.)       Pelayaran Rakyat, adalah pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu layar
6.)       Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai, adalah pelayaran yng digunakan untuk melakukan kegiatan usaha pengangkutan di perairan darat
7.)       Pelayaran Penundaan Laut, adalah pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkang-tongkang yang ditarik oleh kapal tunda.

2.      Pengangkutan Laut Dalam Negeri
Menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang dimaksud dengan pengangkutan laut luar negeri adalah: “Penyelenggaraan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh badan hukum Indonesia dan/atau perusahaan angkutan laut asing”.
Menurut Pasal 4 Peraturan Pelaksana Nomoe 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan,yang dimaksud dengan pengangkutan laut luar negeri adalah: “penyelenggaraan ngkutan laut yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan angkutan laut asing, dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, yang terbuka untuk perdagangan laut luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau sebaliknya dan tidak melakukan kegiatan angkutan laut antar pulau”.
Pengangkutan laut luar negeri memiliki tujuan untuk mengadakan kerjasama di pemerintahan dalam kaitannya untuk meningkatkan bidang perekonomian khususnya ekspor impor, selain itu dengan keluar masuknya kapal dapat meningkatkan pendapatan devisa negara khususnya Indonesia. Jenis-jenis pengangkutan laut luar negeri, antara lain:
e.)    Pelayaran Samudera Dekat, adalah pelayran ke pelabuhan negara tetangga dan tidak melebihi jarak 3.000 mil laut dari pelabuhan terluas Indonesia dan tanpa memandang jurusan
f.)     Pelayaran Samudera, adalah pelayarn keluar dari luar negeri dan bukan merupakan pelayaran samudera dekat.
Terkait dengan hal yang dijabarkan diatas, maka jelaslah bahwa fungsi pengangkutan pada umumnya adalah memindahkan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan guna dan nilai dan fungsi pengangkutan tersebut berlaku di semua bidang kehidupan seperti: politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.      
3. Pengangkuta Udara
            Pengangkutan udara menurut Konverensi Warsawa 1929 adalah meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam pengawasan pengangkut, baik didalam pelabuhan udara atau di dalam pesawat udara, atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara.[28]
            Angkutan udara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1995 adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat untuk mengankut penumpang, Kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandara ke bandara lain atau beberapa bandara.[29]
            Angkutan Udara menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentng penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkutv penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu Bandar udara ke Bandar udara yang lain atau beberapa Bandar udara.[30]
            Abdulkadir Muhammad berpendapat:
Yaitu keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang pengangkutan niaga.[31]
            Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pengangkutan udara adalah keseluruhan peraturan yang mengtur segala sesuatu yang berkaitan denagn kegiatan pengangkutan udara.

Pihak yang Terlibat
            Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang terlibat secar langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan. Mereka terdiri atas :[32]
·         Pihak pengangkut;
·         Pihak penumpang;
·         Pihak pengirim dan;
·         Pihak penerima.
Sedangkan menurut Wiwoho Soedjono menjelskan bahwa di dalam pengangkutan terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan tiga unsure yaitu : pihak pengirim barang, pihak penerima barang, dan barang itu sendiri.[33]
·         Pihak pengangkut (penyedia jasa angkutan), yakni pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan.
·         Pihak penumpang (pengguna jasa angkutan, yakni pihak yang berhak mendapatkan jasa angkutan penumpang dan berkewajiban untuk membayar tariff (ongkos) angkutan sesusi dengan yang telah di tetapkan.
·         Pihak pengirim barang (pengguna jasa angkutan, yakni pihak yang berkewajiban untuk membayar tariff (ongkos) angkutan sesuai yang telah di sepakai dan berhak untuk memperoleh pelayanan jasa angkutan sesuai yang telah disepakati dan berhak untuk memperoleh pelayanan jasa angkutan atas barang barang yang dikirimnya.
·         Pihak penerima (penerima jasa angkutan), yakni sama denga pihak pengirim dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut ditempat tujuan.
Pihak-pihak  yang telah diuraikan diatas merupakan pihak-pihak yang secara langsung terkait pada perjanjian pengangkutan. Disam[ing pihak yang terkait langsung, ada juga mereka yang tidak langsung terikat pada perjanjian pengangkutan niaga karena bukan pihak, melainkan bertindak atas nama atau untuk kepentingan pihak lain, seperti ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha bongkar muat, pengusaha perdagangan, atau karena dia memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan niaga, seperti penerima.[34]

Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pengankutan
            Menurut H.M.N Purwosutjipto, Kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah sebagai berikut:[35]
·         Menyediiakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggrakan pengangkutan.
·         Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan barang yang diangkut.

Hak yang diberikan kepeda kepada pengangkut, antara lain:
·         Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
·         Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 465,470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD.
·         Penyeraan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD.
Kewajiban penumpang, antara lain:
·         Membayar biaya pengangkutan. Setelah membayar biaya pengangkutn maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut.
Kewajiban pihak pengirim, antara lain:
·         Memberitahu tentang sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut.
Hak pengirim, antara lain:
·         Menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang disesuaikan dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan barangnya.

Undang-undang yang Mengatur Tentang Hukum Pengangkutan Udara.
            Undang – undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 17 Desember 2008 dan ditanda tangangani pada tanggal 12 Januari 2009. UURI No.1/2009 tersebut sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena sebagai dasar hukum telah mengatur secara komprehensif.
            pengaturan pengangkutan udara terdapt dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Selain itu juga terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara ( OPU ) S.100 tahun 1939 yang sebagian besar aturan-aturan tersebut mengacu pada Konvensi Warsawa tahun 1929.
            Berikut beberapa point dari Undang-undang No.1 Tahun 2009 :
·         penggandaan pesawat udara sebagai terdapat dalam konvensi  Cape town 2001
·         prinsip ekstra teritorial
·         kedaulatan atas wilayah udara Indonesia
·         pelanggaran wilayah kedaulatan
·         produksi wilayah kedaulatan
·         pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara
Point diatas dimaksud sebagai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasioanal (ICAO) .
            Sesuai dengan pengangkutan udara yang telah diatur oleh undang – undang, bahwa setiap pihak memiliki hak, kewajiban dn tanggung jawab masing-masing yang dilindungi dan diakui dimata hukum apabila terdapat bukti tertulis.
            Resiko akan ditanggung oleh pihak yang diaman kriterianya dikategorikan melalui prinsip tanggung jawab, hak, kewajiban, dan tanggungjawab memiliki kekuatan hukum, dimana apabila ada salah satu pihak yang wan prestasi, maka pihak yang lain berhak mengkalim atau menuntut dengan ganti rugi.
            Undang-undang No. 1 tahun 2009 juga sebgai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasioanal (ICAO). Secara filosofi jiwa dari UU NO. 1 tahun 2009 bermksud memisahkan regulator dan operatoe sehinnga tugas dan tanggung jawab masing – masing jelas, tidak tumpang tindih, transparan.

Perjanjian dalam Hukum Angkutan Udara
          Salah satu pokok dalam bidang Hukum Udara Perdata adalah masalah Perjanjian Angkutan Udara; antara lain karena erat berhubungan dengan suatu masalah lain, yang sejak permulaan pertumbuhan Hukum Udara mendapatkan perhatian yang besar dari para ahli Hukum Udara, yaitu masalah tanggng jawab pengangkut udara.[36]
            Perjanjian adalah  suatu perbuatan satu atau lebih, pelaku usaha mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
            Menurut sistem hukum Indonesia, perbuatan perjanjian pengangkutan tidak di syaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persetujuan kehendak (konsensus).
Pengertian Perjanjian Pengangkutan
            Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala. Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan engangkut tidak terus menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala” sebab pelayanan itu tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, sebab pengirim membutuhkan pengangkutan.
             Perjanjian pengangkutan tidak bersifat pemborongan. Sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tapi pemborongan sebagai yang dimaksud pasal 1601 B KUHPerdata.
            Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran. Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran karena mempunyai unsur pelayanan berkala, unsur penyimpanan, dan unsur pemberian kuasa.
            Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian pengangkutan udara adalah, persetujuan dengan nama pengangkut dengan mana pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang mengikat diri untuk membayar biaya pengangkutan.[37]

Bentuk dan Syarat – Syarat Perjanjian Angkutan Udara
          Pada perjanjian angkutan pada penerbangan teratur tidak dijumpai suatu perjanjian tertulis. Dokumen angkutan seperti tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara bukan merupakan suatu perjanjian angkutan udara, tetapi hanya merupakan suatu bukti adanya perjanjian perjanjian angkutan udara, karena tanpa diberikannya dokumen angkutan tetap ada suatu perjanjian angkutan.
            Bahwa dokumen  angkutan hanya merupakan bukti adanya suatu perjanjian angkutan, lebih dipertegas dalam pasal III Protokol The Hague tahun 1955 yang merubah pasal 3 ayat 2 Warsawa (tentang tiket pesawat).
            Ketentuan serupa kita jumpai pula dalam Pasal IV dan VI Protokol Hague tentang tiket bagasi dan surat muatan udara.
Syarat – Syarat Perjanjian
            Pada dokumen angkutan seperti tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara tercantum apa yang disebut “syarat-syarat perjanjian” (conditions of contract).
            Yang sebenarnya dimaksud adalah syarat-syarat pokok dari perjanjian atau persetujuan ankutan, misalnya bahwa perjanjian angkutan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Ordonasi Pengangkutan Udara atau Konvensi Warsawa, dan juga pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen angkutan, tarif-tarif yang berlaku, syarat-syarat umum pengangkutan dan peraturan-peraturan lain dari pengangkut.
            Dengan demikin, maka tidak semua ketentuan-ketentuan dalam persetujaun agkutan, ia harus peratama-tama mebaca apa yang dinamakan “General Conditions Of Carriage” (yang menurut   dokumen angkutan, bisa minta dilihat ditiap kantor dari suatu perusahaan penerbangan, tapi uumnya tidak ada), dan selanjutnya jadwal-jadwal penerbangan, tarif-tarif, dan ketentuan-ketentuan lain yang tidak tercantum dalam dokumen angkutan, tapi ada pada perusahanaan-perusahaan penerbangan, misalnya ketentuan refund.
Dokumen Angkutan.
             Ketentuan-ketentuan mengenai dokumen angkutan dalam Ordonasi Pengangkutan Udara dan Konvensi Warsawa adalah ketat, karena langsung dihubungkan dengan masalah tanggung jawab pegangkut.
            Pada pengangkut penumpang, misalnya antara lain ditetapkan bahwa kalau sesorang pengangngkut menerima seorang penumpang untuk diangkut tanpa memberikan tiket kepdanya, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Ordonasi  atau Konvensi Warsawa yang meniadakan atau mebatasi tanggung jawabnya.
A. Tiket Pesawat
            Menurut Ordonasi suatu tiket penumpang harus berisi keterangan sebagai berikut, tempat dan tanggal peberian; tempat pemberangkatan dan tempat tujuan; nama dan alamat dari pengangkut atau pengangku-pengangkut; dan pemebritahuan bahwa pengangkut itu tunduk kepada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur oleh Ordonasi atau Konvensi warsawa.[38]
            Persoalan yang timbul adalah apakah sesorang yang mempergunakan tiket dengan nama orang lain telah mengadakan perjanjian angkutan dengan pengangkut, dengan demikian pula sesirag yang sama sekali tidak mempunyai tiket, mungkin ia  “penumpang gelap” atau karena ia diizinkan oleh pegawai pengangkut udara, meskipun tanpa hak dan wewnang.
            Adapula kemungkinan bahwa seorang agen penjualan untuk mendapatkan tempat-tempat dalam pesawt pada rute-rute penerbangan yang laku, mebukukan penumpang yang fiktif, dan keudian menjual ket dengan nama fiktif kepada penumpang sebenarnya.
B. Tiket Bagasi
            Dalam prakteknya tiket penumpang dan tiket bagasi disebut dalam suatu dokumen angkutan. Tidak ada ketentuan yang melaran hal ini, asal saja semua syarat baik, baik untuk tiket penumpang, maupun tiket bagasi dipenuhi.
            Yang harus dicantumkan adalah nomor dari tiket penumpang, jumlah dan beratnya barang-barang dan pemberitahuan bahwa pengakutan bagasi tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab. Dengan sanksi yang sama seperti kalau tidak meberikan tiket bagasi, yaitu bahwa pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan yang meniadakan atau atau membatasi tanggung jawabnya.
            Untuk apa yang disebut “bagasi tangan” yang oleh Ordonasi Pengangkutan Udara dikecualikan dari pengertian bagasi, tidak perlu diberikan tiket bagasi, meskipun biasanya diberi suatu lebel. Lain halnya dengan suatu “claimtag” yaitu potongan dari label yang diikatkan pada bagasi tercatat, dan mempunyai nomor urut dan dipakai ebagai tanda identifikasi bagasi.
C.Surat Muatan Udara
            Berbeda dengan ketentuan-ketentuan untuk tiket penumpang dan tiket bagasi, pasal 7 Ordonasi menimbulkan kesan seolah-olah penggkut tidak diharuskan untuk memberikan surat muatan udara.
            Ada perbedan pula pada tiket penumpng, bahwa ditetapkan dalam ragka beberapa surat muatan udara harus dibuat, yaitu dalam rangkap tiga, semuanya asli, yang pertama untuk pengankut, yang kedua untuk penerima, dan yang ketiga untk pengirim.
            Suatu masalah yang telah lama menjai perhatian dalam bidang Hukum Udara ialah masalah apakah suatu surat muatan udara dapat diperdagangkan atau tidak.
            Dan menurut hasil dari perbaikan Konvensi Warsawa yang menghasilakn suatu ketentuan dalam Protokol Hague “Ketentuan-ketentuan dari Protokol tidak menghalang-halangi pengangkut untuk memberika  suatu muatan udara yang dapat diperdagangkan.
             Bagi seoang pengangkut, suatu surat muatan yang diperdagangkan mempunyai efek-efek yang mungkin merugikan, yaitu dari segi tanggung jawab, karena kalau terlalu lama barang kiriman ditahan menunggu lakunya surat muatan udara, jangka waktu tanggung jawab akan lama pula, dengan kemungkinan timbulnya kerusakan-kerusakan.
D. Beberapa Bentuk Dokumen Angkutan Lain.
            Pada suatu perusahaan penerbngan yang digolongkan dalam General Aviation, misalnya “izin menumpang pesawat” dan “izin mengangkut barang”, yang funginya sama dengan dokumen angkutan biasa dan dipergunakan pada penerbangan-penerbangan charter dalam usaha perminyakan.
Syarat-syarat Umum Pengangkutan
          “General Conditions Of Carriage” dalam tiap-tiap dokumen angkut ditunjuk pada pengangkut yang mengluarkan dokumen – dokumen tersebut.
            Syarat-syarat umum ini merupakan bagian dari perjanjian angkutan dan dengan lebih terperinci dai yang tercantum dalam dokumen angkutan memuat ketentuan-ketentuan dan definisi-definisi, misalnya tentang tarif tiket, tentang pembukuan tempat, tentang akomindasi, tentang bagasi, jadwal penerbangan, refund, formalitas-formalitas, tanggung jawab pengankut, dan sebagainya.
Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Pengangkutan Udara
            Secara teoritis terdapat aturan yang mengatur mengenai batasan tanggung jawab khususnya bagi pelaku usaha pengangkutan udara, namun bukan berarti mengesampingkan hak mereka sebagai pelaku usaha. Dalam hal ini tetap mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan pengguna jasa sesuai dengan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang tersebut dalam UU No. 1 2009 tentang penerbangan.

Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan Udara
            Secara teotitis sebagaimana yang telah dirumuskan dalam forum-forum internasional yang menghasilkan Konvensi – konvensi acuan pengankutan udara dunia, dikenal adanya prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.       Liability Based on Faulth Principle
Prinsip tanggug jawab atas dasar kesalahan, dalam hal ini penggugatlah yang harus membuktikan gugatannya.
b.      Rebuttable Presumption of Liability Principle
Tanggung jawab atas praduga, berlaku asas pembuktian terbalik, dimana pihak yang tergugatlah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
c.       Strict Liability
Prinsip tanggung jawab mutlak, pihak yang menimbulkan kerugian selalu bertanggung jawab tanpa ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah.
Landasan Teori Asuransi Udara
            Asuransi udara melindungi pihak tertanggung pada umumnya terhadap bahaya-bahaya yang disebabkan atau yang berkaitan dengan digunakannya pesawat udara.
            Pada umumnya asuransi udara dibagi kedalam tiga golongan, yaitu:
1.      Asuransi orang, yaitu penumpang serta awak pesawat (personal insurance)
2.      Asuransi kebendaan (property insurance)
3.      Asuransi pertanggung jawaban (liability insurance) .
Perkembangan polis Asuransi udara sedapat mungkin mengambil contoh dari bentuk-bentuk polis asuransi.
            Perjanjian asuransi udara dikuasasi oleh keentuan-ketentuan mengenai asuransi pada umumnya, berarti berlaku ketentuan-ketentuan dalam BAB IX Buku kesatu KUHD.
Subjek-subjek Hukum dalam Asuransi Udara
            Adapun pihak-pihak terkait langsung  dengan kegiatan angkutan udara adalah:
1.      Pihak Penanggung
- Pengangkut udara
- Penumpang
2.      Pihak Teranggung
- Pemilik kargo termasuk pos
- Awak pesawat udara
- Pengelola bandar udara, dan
- Pembuat pesawat udara

Macam-macam Asuransi Udara
            Berdasarkan perbedaan pihak tertanggung yang menutup asuransi, perbedaan kepentingan serta objek bahaya, asuransi udara dapat dibagi menjadi;
A.    Manufacture Insurance (Pembuat pesawat udara)
B.     Hull Insurance (Asuransi pesawat udara)
C.     Crew Insurance (Asuransi awak udara)

Perhitungan Premi dalam Asuransi
            Premi asurans udara dapat dihitung dengan dua cara, yaitu dengan tarif tetap atau penutupan tiap-tiap kejadian.
            Untuk menentukan besar kecilnya risiko, dipengharui oleh beberapa penialain subjektif, seperti kemampuan pilot, bagaimanacaranya mempergunakan pesawat serta fasilitas-fasilitas lapangan terbang yang ada, serta lain-lain, yang menyebabkan tidak mudahnya menentukanukuran yang tetap akan besarnya premi.
            Untuk penerbangan percobaan yang biasanya premi dibayar untuk waktu satu tahun, untuk terbang penyerahan premi diperhitungkan untuk tiap penerbangan. Bisajuga premu dihitung menurut jam terbang seperti pada penerbangan percobaan rutin.
            Menurut Undnag-undang Nomor 15 tahun1992 tetntang penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam passal 43 ayat (1), yang berbunyi “perusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggung jawab atas:
·         Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
·         Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut
·         Keterlambatan angkutan penumpang atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.


Kesimpulan
            Pengangkutan merupakan intrumen yang sangat penting dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana dengan adanya pengangkutan tentunya membuat efisiesi barang dan jasa bisa lebih dimaksimalkan dan dapat di salurkan ke seluruh pelosok negeri ini. Karena begitu pentingnya peran pengangkutan Pemerintah mengeluarkan Undang-undang yang mengatur semua tindakan pengangkutan, baik itu pengangkutan melalui darat, pengangkutan melalai laut. Ataupun pengangkutan melalui udara.
            Dengan adanya peraturan yang jelas terkait pengangkutan yang diterapka di negeri ini, di harapkan mampu memberikan keamanan, serta kepastian hukum terkaik hal-hal yang menyangkut hak den kewajiban dari pengangkut atupun penggunan jasa pengangkutan.



[1] H.M.N. Purwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Djambatan, 1983), hal. 2.
[2] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Laut, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.14
[3] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Laut, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.15
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 12.
[5] HMN Purwosutjipto, Pengertin Pokok Hukum Dagang Indonesia, 3, Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta , 1995, hlm. 2.
[6] R. Soekardono, Hukum dagang Indonesia jilid II, (Jakarta: Rajawali, 1981), hal.6.
[7] https://vanyugo.wordpress.com/2014/03/09/asas-dalam-hukum-pengangkutan/

[8] R. Soekardono, Hukum dagang Indonesia, (Jakarta: Rajawali,1986), hal.2.
[9] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Darat, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.17

[10] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Laut, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.33

[11] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Laut, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.38

[12] Gultom, Elfrida, Hukum Pengangkutan Darat, (Jakarta:Lintera Lintas Media, 2009), hal.21

[13] H.M.N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1981). Hlm 59.
[14] Ibid, hlm 60.
[15] Muhammad AbdulKadir, Hukum pengangkutan Niaga (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), Hlm 40.
[16] H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit, hlm 60.
[17] Ibid.
[18] Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, (Bandung: Penerbit ITB, 1990), hlm 46.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21]. H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit, hlm 21-22
[22] H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit, hlm 328.
[23] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, Udara (Bandung: 1994), hal. 33
[24] Ibid, hal. 33-40
[25] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga (Bandung: 1998), hal. 34-35
[26] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga (Bandung: 1998), hal.35-36
[27] Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara (Bandung: 1994), hal.23-25
[28] Pasal 18 ayat (3) Koverensi Warsawa tahun 1929.
[29] Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun1995 Tentang Angkutan Udara.
[30] Undang-undang Nomor 1  tahun 2009 tentang Penerbangan, pasal 1 ayat 13.
[31] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit,hal.11.
[32] Abdulkadir Muhammad, Op,Cit, hal.59.
[33] Wiwohono Soedjino, Hukum Dagang Suatu Tinjauan Tentang ruang Lingkup dan Masalah yang Berkembang dalam hukum Pengangkutan di Laut bagi Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hal.34.

[34] Abdulkadir Muhammad, Op,Cit, hal.46.

[35] HMN Purwosutjipto, OP.Cit, hal.33-34.
[36] E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.36.
[37] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit,hal.20.

[38] HMN Purwosutjipto, OP.Cit, hal.95.

Komentar


  1. Menyambut Tahun Baru Imlek 2020 tepatnya 25 Januari nanti, Bolavita sebagai agen judi dan taruhan sabung ayam online terbesar di Indonesia akan memberikan bonus Angpao Imlek bagi anda yang bermain disitus kami khusus pada tanggal 25 Januari dan 8 Februari 2020.

    Bonus Khusus Imlek 2020 Dibagi Sebesar Rp 160.000,-

    Tersedia Permainan :
    • Sabung Ayam S128 / SV388
    • Sportsbook ( Bola, Tenis, Moto GP, Badminton, Dan berbagai olahraga lengkap lainnya )
    • Casino Live ( Baccarat, Sicbo Dadu, Dragon Tiger, Roullete, Niu-Niu, Blackjack )
    • Tembak Ikan
    • Slot ( Jackpot, Ding-Dong, Bingo )
    • Dan Masih Banyak Lainnya..

    Setiap member yang melakukan deposit pada hari raya imlek 2020 akan mendapatkan bonus tambahan langsung ke akun yang terdaftar. Bonus Angpao Emas Tahun Tikus 2020 berupa Freechip Untuk semua permainan di Bolavita terkecuali Bola Tangkas dan Togel Online.

    Syarat & Ketentuannya cek di : http://bit.ly/2MqI6pi

    Semoga di Tahun Tikus 2020 Anda Mendapatkan Keberuntungan Dan Rejeki Berlimpah. Bolavita Mengucapkan Selamat Hari Raya Imlek. Gong Xi Fa Chai.

    Kontak Resmi :
    • WA : 0812-2222-995
    • Telegram : 0812-2222-995
    • Wechat : Bolavita
    • Line : cs_bolavita

    BalasHapus
  2. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 2 Mei 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keutamaan Al-Quran

Tafsir Ayat Zakat