Cara Bersuci "THAHARAH"
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Thaharah
Dari segi bahasa : Suci dan bersih, Dan Dari segi istilah syara’ :
Suci dan bersih daripada najis atau hadats. sehingga seseorang diperbolehkan untuk
mengerjakan suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci.
Thaharah
atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan
cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah : 222
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.
Apabila badan, tempat, atau
perlengkapan lain terkena najis, hendaknya dibersihkan. Agar suci dalam
beribadah dan terhindar dari penyakit . Allah
SWT mencintai orang-orang yang membersihkan diri serta lingkungannya.
Orang-orang yang suci adalah orang yang membersihkan dirinya dari segala najis,
hadas, dan kotoran. Secara garis besar, bersuci ada dua macam, yaitu bersuci
dari najis dan hadas. Jika dilihat dari sifat dan pembagiannya, thaharah
(bersuci) dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bersuci lahiriah dan
batinia.[1]
Dalam
hukum islam soal bersuci dan segala seluk-beluknya adalah termasuk bagian ilmu
dan amalan yang penting terutama karena diantara syarat-syarat sholat telah di
tetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat wajib suci dari hadast
dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis.
Urusan bersuci meliputi beberapa
perekara:
a)
Alat bersuci, seperti air, tanah dan sebagainya
b)
Kaifiat (cara) bersuci
c)
Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disuci
d) Benda
yang wajib suci
e)
Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci
B.
Macam – macam Thaharah
Thaharah terbagi dalam 2 bagian :
1.Suci dari hadats ialah bersuci
dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari
hadats besar yang dilakukan dengan mandi
2.Suci dari najis ialah membersihkan
badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.
Ibnu Rusydi berkata, “Kaum
muslimin bersepakat bahwa thaharah syar’i ada dua jenis: Thaharah dari
hadats dan thaharah dari khabats (najis). Dan mereka juga bersepakat bahwa
bentuk thaharah dari hadats ada tiga bentuk: Wudhu, mandi (junub) dan pengganti
dari keduanya yaitu tayammum.”
Adapun
hadats adalah keadaan tidak suci. Dengan kata lain, orang yang tidak suci
dikatakan berhadats yang menyebabkannya tidak boleh shalat, tawaf dan yang
semacamnya. Seorang muslim yang batal wu-dhu’nya sudah berada dalam kondisi
berhadats. Jika ia segera ber-wudhu, maka ia telah suci kembali dan, oleh
karenanya, ia boleh shalat, tawaf, dan amal lainnya yang bersyaratkan wudhu.
C. Alat yang
Digunakan untuk Thaharah
Alat yang digunakan untuk bersuci ada dua bermacam-macam, yaitu:1. Air Mutlak
a. Air hujan
b. Air laut
“Air laut itu suci dan mensucikan, dimana bangkai hewan yang berada di dalamnya pun halal.” (HR. Al Khamsah)
c. Air telaga
“Bahwa Rasulullah pernah meminta diambilkan satu wadah air zamzam, lalu beliau meminum sebagian dari air tersebut dan berwudhu dengannya.” (HR. Ahmad)
2. Air Musta’mal
“Bahwa Rasulullah membasuh kepala dengan sisa air yang terdapat pada tangannya.” (HR. Abu Dawud)
3. Air yang bercampur dengan barang yang suci
“Rasulullah pernah masuk ke rumah kami ketika
putrinya, Zainab, meninggal dunia. Lalu beliau berkata: Mandikanlah ia tiga atu
lima kali atau lebih, jika menurutmu lebih dari itu adalah lebih baik, dengan
air atau serta daun bidara. Pada basuhan yang terakhir campurkan dengan kapur
barus. Jika telah selesai, maka beritahukan kepadaku. Setelah selesai
memandikan jenazah Zainab, kami memberitahukan kepada Rasulullah, kemudian
beliau memberikan kain kepada kami seraya berkata: “Pakaikanlah kain ini pada tubuhnya.” (HR. Mutafaq’alaih)
4. Air yang jumlahnya dua kullah“Apabila jumlah air itu mencapai dua kullah, maka air itu tidak mengandung kotoran (tidak najis).” (HR. Khamsah)
5. Debu yang bersih yang ada di atas tanah, pasir, batu-batu kerikil atau pasir laut.
Rasulullah SAW bersabda: “Tanah itu telah diciptakan bagiku tempat sujud dan mensucikan” (HR. Ahmad diriwayatkan di dalam shahihain)
D. Hadats terbagi dua :
1)
Hadats kecil
2)
Hadats besar
Hadats
kecil terjadi karena wudhu’ batal dan hadats besar muncul karena terjadi
sesuatu yang menyebabkannya, misalnya bersetubuh dengan isteri atau sebab-sebab
lainnya yang mewajibkan mandi.
Macam – macam najis dibagi 3 :
- Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7kali dengan air dan salah satunya dengan tanah
- Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau minum apa – apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau sifatnya
- Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.
Benda-benda najis adalah kotoran-kotoran yang wajib
dibersihkan oleh setiap muslim, jika benda-benda itu terkena pada badannya,
pakaiannya atau tempatnya. Jika tidak, bukan saja badannya, pakaiannya
lingkungannya tidak suci (kotor) melainkan juga shalat yang didirikan
(dilaksanakan) tidak sah.
Di antara benda-benda najis tersebut
adalah :
1) Muntah
2) Air kecil
(kencing)
3) Air besar
(berak)
4) Air madzi
5) Air liur
anjing
6) Khamar
7) Darah
haidh, darah nifas darah istihadah
8) Darah yang
keluar dari badan (manusia atau hewan) karena terluka karena sebab-sebab
lainnya.
9) Bangkai binatang dari yang berdarah
selain dari mayat manusia.
10) Nanah
Benda-benda
najis tersebut jika terkena badan, pakaian atau tempat, wajib dibersihkan.
Benda-benda najis lainnya (yang agak jauh dari badan, tetapi jika terkena juga
wajib dibersihkan) adalah :
1. Bangkai, kecuali bangkai ikan dan
belalang
2. Binatang yang mati tercekik, atau
dicekik, dipukul, atau jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas.
3. Daging babi
4. Binatang yang disembelih untuk
berhala.[2]
E.
JENIS-JENIS THAHARAH
1. ISTINJA
Apabila keluar kotoran dari pada
salah satu dua pintu, wajib istinja’ dengan air atau dengan tiga buah batu;
yang lebih baik mula-mula dengan batu atau sebagainya, kemudian diikuti dengan
air.
Sabda Rasulullah saw
“beliau telah melalui dua buah
kubur, ketika itu beliau berkkata: kedua orang yang ada dalam kubur ini
disiksa. Yang seorang disiksa karena mengadu-ngadu orang, dan yang seorang lagi
karena tidak meng-istinja’ kencingnya”.
Sepakat Ahli Hadis
syarat
istinja’ dengan batu dan yang seumpamanya, hendaklah sebelum kotoran kering;
dan kotoran itu tidak mengenai tempat lain selain tempat keluarnya: jika
kotoran itu sudah kering atau mengenai tempat lain selain dari tempat
keluarnya, maka tidak sah lagi istinja’ dengan batu tetapi wajib istinja’
dengan air.[3]
2.
WUDHU
A.
pengertian
Perintah
wajib wudhu’ bersamaan dengan perintah wajib sembahyang lima waktu, yaitu satu
tahun setengan sebelum tahun Hijrah.
Firman Allah swt
“hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang hendaklah basuh (suci) mukamu, dedua
tanganmu sampai dua siku dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai kedua
mata kaki” (Al-maidah:6)
Dan dari ‘Umar ra sesungguhnya Nabi
aw bersabda: “Barang siapa berwudhu dan ia membaikkan wudhunya, niscaya
dosa-dosanya akan keluar dari tubuhnya bahkan akan keluar pula dari bawah
kuku-kukunya.” (HR. Muslim)
B. Fardhu-fardhu
Wudhu.
Fardu-fardu
wudhu itu ada enam : Yang pertama Niat , yg kedua membasuh wajah , yg ketiga
membasuh kedua tangan beserta kedua sikut
, yg keempat menyapu sebagian dari kepala , yg kelima membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki , yg keenam tertib .
C. Sunah-sunahnya
wudhu
Sunnahnya wudhu ada 10 (sepuluh): membaca bismillah, membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkan ke wadah air, berkumur, menghirup air ke hidup, mengusap seluruh kepala, mengusap kedua telinga luar dalam dengan air baru, menyisir jenggot tebal dengan jari, membasuh sela-sela jari tangan dan kaki, mendahulukan bagian kanan dari kiri, menyucikan masing-masing 3 (tiga) kali, bersegera.
D. Syarat-syarat wudhu
Islam,
berakal, tamyiz (mampu membedakan yang baik dan yang buruk), serta niat. Maka
tidak sah wudhu’ itu jika dalam keadaan kafir, gila, anak kecil yang belum
tamyiz dan lalai dari niat berwudhu’, seperti niatnya semata-mata untuk
menyegarkan badan atau membasuh anggota badan supaya najis dan kotorannya
hilang. Dan disyaratkan pula air wudhu’ yang
hendak digunakan itu ialah air yang suci. Apabila air tersebut najis maka tidak
boleh digunakan. Demikian pula airnya itu diperoleh dengan cara yang mubah
bukan hasil curian atau berasal dari jalan-jalan yang tidak disyariatkan
mendapatkannya, sebab wudhu’nya itu tidak sah.
Demikian
pula disyaratkan dalam berwudhu’ itu mendahuluinya dengan
beristinjaa’(membersihkan apa-apa yang keluar dari dua jalan, qubul atau dubur)
atau istijmaar (bersuci dengan batu) sebagaimana perinciannya telah disebutkan.
Dan disyaratkan pula menghilangkan segala sesuatu yang dapat menghalangi
sampainya air ke kulit tubuh. Maka sebelum berwudhu’ ia harus menghilangkan
tanah, tepung, lilin, kotoran yang mengumpul atau cat yang tebal dari anggota
tubuhnya itu, sehingga air dapat mengalir di atas kulitnya secara langsung
tanpa ada sesuatu yang menghalanginya.[6]
Hal-hal yang membatalkan Wudhu
1)
Keluar sesuatu dari dua pintu atau dari salah satu keduanya, baik yang keluar
itu berupa zat atau angin
2)
Bersentuh kulit laki-laki dengan kulit perempuan. Dengan bersentuh itu batal
wudhu’ yang menentuh dan yang disentuh, dengan syarat keadaan keduanya sudah
sampai umur/dewasa dan antara keduanya bukan muhrim, baik muhrim turunan,
pertalian persusuan ataupun muhrim perkawinan.
Firman Allah swt
“salah satu yang mewajibkan
tayammum, kalau tidak ada air ialah bersentuhan dengan perempuan.” (An-Nisa:43)
3)
Hilang akal .
4)
Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan batin telapak tangan[7]
3. MANDI
WAJIB
Mandi wajib adalah mengalirkan air
keseluruh badan denan niat dan disebabkan oleh hal-hal tertentu
Sebab-Sebab Mandi Wajib
Sebab-sebab yang mewajibkan mandi
antara lain :.
1-
Setelah
melakukan hubungan suami istri, walaupun tidak mengeluarkan.
Firman Allah, “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Maidah: 6).
Imam asy-Syafi'i berkata, “Dalam bahasa Arab seseorang dianggap junub jika dia melakukan hubungan suami istri walaupun tidak mengeluarkan.”
Nabi saw bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ. متفق عليه، وَزَادَ مُسْلِم وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ .
“Jika suami duduk di antara empat cabangnya kemudian dia menggerakkannya maka telah wajib mandi.” (Muttafaq alaihi). Muslim menambahkan, “Walaupun tidak mengeluarkan.”
2- Setelah mengeluarkan air mani, bisa melalui mimpi atau persentuhan kulit dengan istri atau karena sebab-sebab yang lain.
Dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika dia bermimpi?” Nabi saw menjawab, “Ya, jika dia mendapatkan air.” (Muttafaq alaihi).
Muslim menambahkan, Ummu Salamah berkata, “Mungkinkah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau tidak maka dari mana kemiripan?”
3- Setelah haid dan nifas
Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222).
Firman Allah, “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Maidah: 6).
Imam asy-Syafi'i berkata, “Dalam bahasa Arab seseorang dianggap junub jika dia melakukan hubungan suami istri walaupun tidak mengeluarkan.”
Nabi saw bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ. متفق عليه، وَزَادَ مُسْلِم وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ .
“Jika suami duduk di antara empat cabangnya kemudian dia menggerakkannya maka telah wajib mandi.” (Muttafaq alaihi). Muslim menambahkan, “Walaupun tidak mengeluarkan.”
2- Setelah mengeluarkan air mani, bisa melalui mimpi atau persentuhan kulit dengan istri atau karena sebab-sebab yang lain.
Dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika dia bermimpi?” Nabi saw menjawab, “Ya, jika dia mendapatkan air.” (Muttafaq alaihi).
Muslim menambahkan, Ummu Salamah berkata, “Mungkinkah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau tidak maka dari mana kemiripan?”
3- Setelah haid dan nifas
Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222).
Nabi saw bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,
أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلىِّ إِذَا
أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلىِّ إِذَا
“Jika haidmu datang maka tinggalkanlah shalat, jika ia berlalu maka mandilah dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pantangan orang junub
1- Shalat.
2- Thawaf.
3- Menyentuh mushaf dan membawanya, ini bukan kesepakatan.
4- Membaca al-Qur`an, Ali bin Abu Thalib berkata, “Rasulullah saw membacakan al-Qur`an kepada kami selama beliau tidak junub.” (HR. Ashab as-Sunan dan Ahmad, dishahihkan oleh at-Tirmidzi). Ini bukan kesepakatan.
5- Berdiam di masjid.
Firman Allah, “Jangan pula hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, sehingga kamu mandi.” (An-Nisa`: 43).
Tata cara mandi
Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah saw mandi junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, kemudian beliau menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu beliau membasuh kelaminnya, kemudian beliau berwudhu, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke dasar rambut, kemudian beliau menuangkan air ke kepala tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh, kemudian beliau membasuh kedua kakinya.” (Muttafaq alaihi).
Dari hadits ini kita mengetahui mandi Rasulullah saw.
1- Membasuh kedua tangan, karena keduanya merupakan alat.
2- Membersihkan kelamin dengan tangan kiri.
3- Berwudhu sempurna, atau berwudhu kecuali membasuh kedua kaki, yang terakhir ini bisa diakhirkan, berdasarkan hadits Maemunah tentang mandi Nabi saw yang menyebutkan wudhu kecuali membasuh kedua kaki, lalu dia berkata, “Kemudian beliau menyingkir dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya.”
4- Meratakan air ke kulit kepala.
5- Mengguyur kepala dengan air tiga kali.
6- Meratakan air ke seluruh tubuh.
Mandi ini berlaku untuk laki-laki dan wanita, kecuali wanita selesai haid atau nifas, disunnahkan baginya setelah mandi mengambil kapas yang dibasahi dengan wewangian untuk membersihkan noda-noda darah.
Rasulullah saw bersabda kepada Asma` binti Yazid, “…Kemudian mengambil kapas yang ditetesi minyak wangi dan membersihkan diri dengannya.” Dia berkata, “Bagaimana membersihkan diri dengannya?” Nabi saw bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dirimu dengannya.” Aisyah berkata, sepertinya dia tidak mengerti, maka aku berbisik kepadanya, “Bersihkanlah bekas-bekas darah” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
4.
MANDI SUNAH
Macam-Macam Mandi Sunah
- Mandi hari jum’at
- Mandi hari raya Idul fithri dan hari raya Kurban
- Mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya. Karena ada kemungkinan ia keluar mani.
- Mandi tatkala hendak ihram hajji atau umrah.
- Mandi sehabis memandikan mayat.
- Mandi seorang kafir setelah memeluk agama islam. Karena beberapa orang sahabat ketika telah masuk islam disuruh nabi untuk mandi.
Sabda Rosulullah saw
“Dari Qais bin ‘Ashim, ketika ia
masuk Islam, Rasulullah saw menyuruhnya mandi dengan air dan daun. Riwayat Ahli
Hadis selain dari Ibhu Majah.
Perintah
ini menjadi sunat hukumnya bukan wajib, karena ada Karinah (tanda) yang
menunjukan bukan wajib. Yaitu beberapa orang sahabat ketika mereka masuk islam
tidak disuruh nabi mandi.[8]
5.
TAYAMMUM
Tayammum,
yaitu menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa
syarat. Tayammum adalah pengganti wudhu’ atau mandi, sebagai rukhshah
(kekeringan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan
(udzur):
1) ‘uzur karena sakit.
Kalau ia memakai air bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya, menurut
keterangan dokter yang telah berpengalaman tentang penyakit serupa itu.
2) Karena dalam
perjalanan.
3) Karena tidak ada
air.
Firman Allah swt
“Dan apabila kamu dalam sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air, atau bersentuh dengan
perempuan, jika kamu tidak mendapat air, maka hendaklah kamu tayammum dengan
tanah yang suci. Caranya dengan sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah
tersebut. (Al-Maidah:6).
“Sesungguhnya tanah yang baik
(bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, kendati ia tidak mendapatkan air
selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia
menyentuhkannya ke kulitnya.”(HR Tirmizi, dan ia menghasankannya)
“Rasulullah saw. mengizinkan Amr bin
Ash r.a. bertayammum dari jinabat pada malam yang sangat dingin, karena ia
menghawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.” (HR
Bukhari)
Syarat-Syarat Tayammum
a)
Sudah masuk waktu sembahyang. Tayammum disyari’atkan untuk orang yang terpaksa,
sebelum masuk waktu ia belum terpaksa, sebab sembahyang belum wajib atasnya
ketika itu.
b)
Sudah diusahakan mencari air tetapi tidak dapat, dan waktu shalat sudah masuk.
c)
Dengan tanah suci dan berdebu. Menurut pendapat imam Syafi’I tidak sah tayammum
melainkan dengan tnah. Menurut pendapat imam yang lain boleh (syah) tayammum
dengan tanah pasir atau batu. Dalil pendapat yang kedua ini:
Sabda Rasulullah
“telah dijadikan bagiku bumi baik
dan menyucikan dan tempat sujud”
d)
Menhilangkan najis. Berarti sssebelum melakukan tayamum hendaklah ia bersih
dari najis, menurut pendapat sebagian ulama tetapi menurut pendapat yang lain
tidak.
Beberapa masalah yang bersangkutan
dengan tayammum
- Orang yang bertayammum karena tidak ada air, tidak wajib mengulangi sembahyangnya apabila mendapat air. Tapi orang yang tayammum sebab junub, apabila mendapat air, ia wajib mandi bila ia hendak mengerjakan sembahyang berikutnya, karrena tayammum tidak mengankatkan (menghilangkan) hadats, hanya boleh karena darurat.
- Satu kali tayammum boleeh dipakai untuk beberapa kali sembahyang, baik sembahyang fardhu, atau sembahyang sunnat; kekuatannya sama dengan wudhu karena tayammum itu ganti dari pada wudhu bagi orang yang tidak dapat memakai air; jadi hukumnya samalahh dengan wudhu. Demikian pendapat sebagian ulamla. Yang lain berpendapat bahwa satu kali tayammum hanya sah buat satu kali sembahyang fardhu dan beberapa sembahyang sunnat, tetapi golongan ini tidak dapat memberikan dallil yang kuat atas pendapat mereka.
- Boleh tayammum sebab luka atau karena hari sangat dingin karena luka itu termasuk dalam arti sakit. Demikian juga memakai air ketika hari sangat dingin mungkin menyebabkan jadi sakit.[9]
KESALAHAN-KESALAHAN DALAM THAHARAH:
- Melafadzkan niat di awal berwudhu.
Hal ini tidak diperbolehkan, karena niat tempatnya adalah di
hati sedangkan melafadzkan niat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan suri
tauladan kita -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Niat yang syar’i adalah munculnya
di dalam hati orang yang berwudhu bahwa ini wudhu untuk sholat, atau untuk
menyentuh mushaf, atau untuk mengangkat hadats, atau yang semisalnya, inilah
niat. Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan untuk memulai ibadah
wudhu dengan bacaan basmalah bukan dengan ucapan lainnya, maka memulai wudhu
dengan mengeraskan bacaan niat merupakan penyelisihan terhadap tuntunan dan
perintah beliau.
2.
Tidak
punya perhatian terhadap cara wudhu dan mandi (junub) yang syar’i, bergampangan
dalam bersuci, dan tidak punya perhatian untuk mempelajari hukum-hukum seputar
thaharah (bersuci).
Ini
termasuk perkara yang seharusnya dijauhi oleh seorang muslim, karena
sesungguhnya, thaharah, berwudhu, dan mandi (junub) merupakan syarat sahnya
sholat bagi orang yang berhadats, dan barangsiapa yang bergampangan terhadapnya
maka sholatnya tidak sah karena dia melalaikan kewajiban dan syarat (dari
bersuci).
Dan
sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda kepada sahabat
Laqith bin Saburah: “Sempurnakanlah wudhu.” Riwayat Ashhabus Sunan dan
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Karenanya,
wajib untuk menyempurnakan wudhu terhadap seluruh anggota-anggota wudhu dengan
cara mencuci semuanya dengan air, kecuali kepala karena kepala sudah teranggap
sah jika mengusap sebagian besar darinya, yaitu mengusap sebagian besar dari
kepala bersama kedua telinga, karena kedua telinga termasuk bagian dari kepala
sebagaimana yang tsabit dari beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
Maka
hendaknya seorang muslim mempelajari hukum-hukum berwudhu dan hendaknya dia
berwudhu dengan sempurna dengan mencucinya sebanyak tiga kali dalam rangka
mencontoh Nabinya Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan agar dia
mendapatkan keutamaan sholat. Imam An-Nasa`i dan Ibnu Majah telah meriwayatkan
sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari ‘Utsman -radhiallahu ‘anhu- dari
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang menyempurnakan
wudhu sebagaimana yang Allah perintahkan, maka shalat-shalat wajib (yang lima)
adalah penghapus dosa (yang terjadi) di antaranya.”
Dan hadits-hadits yang berkenaan
dengan keutamaan menyempurnakan wudhu dan bahwa dia menghapuskan dosa-dosa
sangatlah banyak.
3.
Perasaan
was-was dan ragu-ragu dalam berwudhu dengan cara menambah jumlah cucian
melebihi tiga kali.
Ini
adalah was-was dari setan, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak
pernah menambah cucian dalam wudhu lebih dari tiga kali, sebagaimana yang
tsabit dalam Shahih Al-Bukhari bahwa [Nabi -Shallallahu 'alaihi wasallam-
berwudhu tiga kali-tiga kali]. Maka yang wajib atas seorang muslim adalah
membuang semua was-was dan keragu-raguan (yang muncul) setelah selesainya wudhu
dan jangan dia menambah lebih dari tiga kali cucian untuk menolak was-was yang
merupakan salah satu dari tipuan setan.
4.
Boros
dalam penggunaan air.
Ini adalah terlarang berdasarkan
keumuman firman Allah swt:
“Dan janganlah kalian
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141 dan Al-A’raf: 31)
Dan
semakna dengan keumuman ini adalah hadits Sa’ad tatkala Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- melewati beliau ketika beliau (Sa’ad) sedang berwudhu, maka
beliau bersabda kepadanya: “Janganlah kalian boros dalam (penggunaan) air,”
maka beliau (Sa’ad) berkata, “Apakah dalam (masalah) air ada pemborosan?”
beliau bersabda, “Iya, walaupun kamu berada di sungai yang banyak airnya.”
Riwayat Ahmad.
5.
Menyebut
nama Allah di dalam WC atau masuk ke dalamnya dengan membawa sesuatu yang di
dalamnya terdapat dzikir kepada Allah.
Ini
adalah hal yang makruh maka sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjauhinya.
Dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Ada seorang lelaki yang
berlalu sementara Rasulullah saw- sedang kencing. Maka orang itu pun
mengucapkan salam tapi Nabi tidak membalas salamnya.” Riwayat Muslim.Hal ini
karena menjawab salam adalah termasuk dzikir.
6.
Mengusap
kepala lebih dari satu kali.
Ini
bertentangan dengan petunjuk Nabi saw karena beliau selalu mengusap kepalanya
hanya satu kali, sebagaimana yang tsabit dalam hadits ‘Ali -radhiallahu ‘anhu-
tentang sifat wudhu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau berkata:
“Beliau mengusap kepalanya satu kali”. Riwayat At-Tirmidzy dan An-Nasa`i dengan
sanad yang shahih. Imam Abu Daud berkata, “Hadits-hadits yang shahih dari
‘Utsman seluruhnya menunjukkan bahwa pengusapan kepala hanya satu kali.”
7.
Mengusap
tengkuk (leher bagian belakang).
Ini
termasuk dari sejumlah kesalahan bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai
bid’ah karena tidak adanya satupun hadits yang tsabit dari Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam-, yang ada hanya diriwayatkan dalam hadits-hadits yang palsu
dan mungkar. Sebagian ulama ada yang menyebutkan (disyari’atkannya) mengusap
tengkuk akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa haditsnya tidak shahih,
karenanya tidak disyari’atkan untuk mengusapnya, dan wajib untuk mengingatkan
hal ini sebagai bentuk penjagaan terhadap syari’at dari penambahan.
8.
Mengusap
bagian bawah dari khuf (sepatu) dan jaurab (kaus kaki) ketika mengusap di atas
khuf.
Ini
merupakan kesalahan dan kejahilan karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
mengusap bagian atas khuf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu
Daud, dan At-Tirmidzy dari Al-Mughirah bin Syu’bah beliau berkata: “Saya
melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengusap bagian atas kedua
khufnya.”
Dan
Imam Abu Daud juga meriwayatkan dari ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Seandainya agama itu dengan akal, niscaya bagian bawah khuf yang lebih pantas
daripada bagian atasnya. Sungguh saya telah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengusap bagian atas kedua khuf beliau.”
9.
Beristinja`
(mencuci dubur) dari buang angin (kentut).
Tidak
ada istinja` ketika kentut, istinja` hanya pada kencing dan buang air besar,
maka tidak disyari’atkan bagi orang yang kentut untuk beristinja` sebelum
berwudhu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, karena dalil-dalil
syari’at tidak ada yang menjelaskan akan istinja` dari kentut, yang ada
hanyalah penjelasan bahwa kentut adalah hadats yang mengharuskan wudhu, dan
segala puji hanya milik Allah atas kemudahan dari-Nya. Imam Ahmad
-rahimahullah- berkata, “Tidak terdapat dalam Al-Kitab, tidak pula dalam sunnah
Rasul-Nya adanya istinja` dalam kentut, yang ada hanyalah wudhu.”[10]
Kesimpulan
Ajaran
Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu
aspek penting dalam ilmu kesehatan. Hal yang terkait dengan kebersihan disebut At-Thaharah. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, thaharah
merupakan salah satu tindakan preventif, berguna untuk menjaga dan menghindari
penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri.
Apabila badan, tempat, atau
perlengkapan lain terkena najis, hendaknya dibersihkan. Agar kita suci dalam
beribadah dan terhindar dari segala penyakit. .Allah SWT mencintai orang-orang
yang membersihkan diri serta lingkungannya. Orang-orang yang suci adalah orang
yang membersihkan dirinya dari segala najis, hadas, dan kotoran. Baik dengan istinja, wudhu, mandi,dan
tayamum Secara garis besar, bersuci ada
dua macam, yaitu bersuci dari najis dan hadas. Jika dilihat dari sifat dan
pembagiannya, thaharah (bersuci) dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu bersuci lahiriah dan batinia.
Dalam
hukum islam soal bersuci dan segala seluk-beluknya adalah termasuk bagian ilmu
dan amalan yang penting terutama karena diantara syarat-syarat sholat telah di
tetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat wajib suci dari hadast
dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis.
[1] l-badar.net/pengertian-macam-dan-cara-thaharah/
[2] https://www.scribd.com/doc/212766411/Thaharoh
[3] Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib,
Syihabuddin Abu Syujak Al-Ashfahani
[4]
Safinah
An-Najah Syaikh Salim Bin Samir Hadromi Madzhab
Syafi’i
[5] Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib,
Syihabuddin Abu Syujak Al-Ashfahani
[6] http://madrasahjihad.wordpress.com/2012/05/21/syarat-syarat-berwudhu/ “Al-Mulaakhashul Fiqhiy”
[7] Jabbar, Umar Abdul, 1998, Mabadi al Fiqh, Surabaya.
[8] Jabbar, Umar Abdul, 1998, Mabadi al Fiqh, Surabaya.
[9] Fuad ’Abdul Baqi, Muhammad, Trj. H. Salim Bahreisy, 1996,
Al-Lu’lu’ Wal Marjan 1, Surabaya: PT. Bina Ilmu
[10] http://materitarbiyah.wordpress.com/2008/03/15/bersuci-thaharoh/
Komentar
Posting Komentar