Merried by Accident


A.    Pengertian MBA ( Married by Accident )
Pada dasarnya setiap anak yang lahir, baik di dalam maupun di luar perkawinan, memiliki status fitrah. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan dari siapa pun, termasuk dari kedua orang tuanya yang melakukan perzinaan. Perzinaan memang sebagai salah satu dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Husain Adz-Dzahabi bahwa zina adalah sebagai dosa besar besar yang kesepuluh.
Julukan yang sudah terlanjur melekat pada diri anak yang dilahirkan dalam kasus perzinaan memang telah ada sejak zaman dahulu. Julukan apa pun yang diberikan, ia tetaplah anak yang bersih dan suci. Anak zina juga termasuk dalam kategori maulud (anak yang dilahirkan).[1]
Hamil di luar nikah, atau Married by Accident. Kalimat itu nampaknya saat ini telah cukup akrab di telinga kita. Saat ini fenomena hamil di luar nikah bukanlah hal yang aneh,  atau bahkan sesuatu yang salah. Entah dikarenakan keadaan zaman yang mengalami demoralisasi atau penurunan moral, atau karena zaman kian menjauh dari nilai-nilai dan moral agama, sehingga saat ini banyak sekali pasangan yang masih berstatus pacaran berani melakukan hal-hal yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban suami istri. Ketika banyak sekali terjadi kasus seperti ini, lantas siapakah yang bersalah? Lalu bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Tak merasa dosa atau hal yang lainnya kah?
Married by accident (MBA) adalah sebuah kasus yang menggambarkan bahwa terjadinya perkawinan disebabkan karena adanya kecelakaan berupa kehamilan sebelum pernikahan tersebut diselenggarakan.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibu kandungnya sebagai akibat dari perbuatan zina yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.[2]

B.     Faktor Penyebab MBA
Kasus MBA ini memang bisa terjadi pada siapa saja tetapi biasanya kasus ini banyak terjadi pada usia remaja (remaja awal – remaja akhir). Mengapa? Banyak faktor yang mendorong/mendukung sehingga dapat terjadinya Married by Accident ini. Salah satu faktornya adalah pergaulan bebas. Pergaulan bebas yang merebak di kalangan remaja ini bisa dibilang sebagai faktor utama MBA. Sifat khas pada usia remaja yaitu ingin mencoba hal baru juga menjadi “bensin” bagi merebaknya pergaulan bebas. Sikap yang memperbolehkan prilaku seks diluar nikah disebut keserbabolehan dalam prilaku seksual pranikah atau bahasa kerennya permissiveness. Banyak faktor yang memperngaruhi munculnya prilaku premesif dalam prilaku seksual pranikah remaja antara lain, libido yang meningkat, penundaan usia pernikahan kurangnya pemdidikan seksual, pendidikan agama dan moral yang kurang dari orang tua/guru pun ikut ambil peran dalam hal ini.
1.       Faktor Agama
Orang yang tidak religius sering melakukan prilaku seksual pranikah dibandingkan dengan orang yang religius. Religius disini tidak semata – mata aktif menjalankan ibadah agama tapi lebih pada bagaimana dia menghayati nilai – nilai agama itu sendiri. Pendidikan agama dapat membuka mata  jasmani dan rohani dengan kesadaran       untuk tidak melakukan hubungan seks pra menikah. menanamkan rasa takut akan Tuhan sangat penting agar anak tidak berlaku sembarangan  dalam menjalani hidup serta mengetahui jalan yang benar. satu keluarga duduk bersama untuk berdo’a kepada Tuhan adalah salah satu faktor terpenting dalam membina keluarga yang harmonis.
2.      Faktor Pendidikan
Bukan hanya guru, orang tua juga harus memberikan pendidikan seksual kepada anak-anaknya. Ketika anak tidak mendapatkan pendidikan seksual dari guru atau orang tuanya mereka akan mencari informasi dari sumber yang lain (misalnya: teman-teman sebaya, buku, majalah, internet) sehingga mereka belum dapat memilih mana yang baik dan mana yang harus dihindari. Pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual kepada anak. Sehingga ketika anak telah tumbuh remaja dapat memahami urusan-urusan kehidupannya tanpa diperbudak oleh nafsu syahwatnya. Diperlukan pendidikan yang mengajarkan mengenai hubungan seks diluar nikah, penyebab dan resiko hamil diluar nikah serta cara menanggulanginya. memberi pengertian dan pemahaman akan bahaya hamil diluar nikah akan sangat membantu anak untuk menghindar dan berjaga jaga. 
3.      Penundaan Usia Pernikahan
Perubahan-perubahan hormon yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Akan tetapi penyaluran ini tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia pernikahan, baik secara hukum oleh karena adanya peraturan tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah  (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena  sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan ( pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain – lain).
4.      Kurangnya Informasi Tentang Seks
Keluarga yang menutup diri terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan seks dan seksualitas sebenarnya rawan terhadap berbagai tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan seksual. Banyak kasus pelecehan seksual atau perkosaan justru terjadi di tengah-tengah keluarga yang tertutup atau menutup diri tehadap informasi seks dan seksualitas. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks dan orang tua yang tabu membicarakan seks dengan anaknya, anak akan berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat, khususnya teman yang kemungkinan besar terjebak informasi yang menyesatkan.
5.      Pergaulan yang makin bebas
Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, kiranya dengan mudah bisa di saksikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di kota-kota besar. Bujukan teman kelompok untuk membuktikan “ kejantanan” bisa mendorong terjadinya hubungan seksual sebelum nikah. Remaja cenderung menentukan standar yang mirip dengan standar teman-temannya. Mereka cenderung terlibat dalam hubungan seksual bila teman-temannya juga melakukan perbuatan tersebut.
6.      Kurangnya Pengawasan Orang Tua
Ketidak pedulian orang tua terhadap setiap aktifitas anaknya karena kesibukan dengan urusan pekerjaannya masing-masing ini mengakibatkan anaknya bebas melakukan apapun yang dia inginkan karena tidak ada pengawasan yang diberikan orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, pengawasan yang terlalu berlebihan juga tidak baik buat perkembangan anak karena akan merasa terkekang sehingga cenderung untuk memberontak dan mengabaikan peraturan-peraturan yang di berikan orang tuanya.
7.      Peran Media yang Berdampak Negatif
Dengan semakin majunya arus informasi, misalnya Internet, televisi, VCD, majalah dan lain sebagainya yang seharusnya berperan dalam dunia pendidikan sering kali disalah gunakaan sebagai media yang tidak layak dipertontonkan, misalnya saja pornografi dan pornoaksi yang secara gamblang dipertontonkan lewat media-media tersebut.Tontonan pornografi dan pornoaksi dapat menimbulkan rangsangan seksual, maka hasrat seksual yang telah ada semakin diasah lewat media tersebut sehingga menyebabkan rasa penasaran para remaja bahkan ingin mempraktekkannya tanpa pikir panjang.[3]

C.    Married by Accident di Masyarakat
Masalah Married by Accident ini sudah sangat populer, baik terjadi di kalangan remaja kota maupun desa. Hal ini karena kasus-kasus hamil di luar nikah telah menjadi sesuatu yang sangat marak dan biasa terjadi di masyarakat. Dan  sebagian atau hampir seluruh di daerah di Indonesia ini ada kejadian ini yaitu banyak pasangan yang menikah disebabkan karena masalah hamil di luar nikah ini.
Terkait dengan pembahasan tentang nasab dan status anak, kasus married by accident di Indonesia, tampaknya tidk bisa berdiri sendiri, melainkan sebagai sebuah pelanggaran yang diakibatkan oleh adanya aturan perundang-undangan yang memiliki daya cengkeram secara yuridis. Artinya ada keterkaitan erat dengan konsep perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Married by accident biasanya terjadi karena kasus perzinaan dan perzinaan ini terjadi bahkan marak dilakukan oleh sebagian warga masyarakat, tidak lain juga karena rumusan pasal terkait larangan perzinaan atau overspel atau gendak dalam KUHP sangat berbeda jauh dengan semangat yang diusung oleh Hukum Islam. Dalam pasal 284 KUHP hanya disebutkan bahwa zina masuk dalam kategori delik aduan, sehingga kalau tidak ada pihak yang merasa terganggu dan merasa dirugikan dengan adanya kasus perzinaan, maka delik overspel ini tidak bisa diperkarakan di sidang pengadilan.
                                                                                                                                                                                      
Di samping zina hanya dianggap sebagai delik aduan yang sangat berpengaruh pada sikap sebagian anggota masyarakat yang merasa “enteng” dan bahkan merasa tidak bersalah dalam berbuat zina, sanksi hukum pelaku zina di Indonesia juga sangat ringan bahkan banyak kasus yang akibatnya tidak bisa diproses secara hukum.
Dalam sebuah majalah yang terbit beberapa waktu lalau disebutkan bahwa hampir setiap malam tahun baru masehi, di setiap jalan menjuju kawasan penginapan seperti Kali Urang di Yogjakarta atau Puncak di kawasan Bogor Jawa Barat, banyak apotek atau mini market-mini market yang kehabisan stok kondom. Ironisnya bahwa pembelinya umumnya adalah para pasangan remaja yang diperkirakan belum terikat pernikahan.
Dan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah merasa aman pada saat anak perempuannya dilamar oleh seorang pemuda. Kemudian pemuda tersebut diizinkan untuk membawa pergi ke mana saja atau bahkan telah dibolehkan untuk tidur bersama karena telah siap melaksanakan perkawinan.
Pada dasarnya, anak yang dilahirkan dalam kasus hamil di luar nikah ini tidak akan memiliki nasab sah secara hukum Islam kepada ayah kandungnya, yang pada umunya bersedia menikahi ibunya. Anak yang dilahirkan di luar nikah tidak memiliki nasab yang sah seara hukum islam karena proses pembuahan dan “pembuatan” anak itu telah berlangsung sebelum kedua orangtuanya melakukan akad nikah sebagai syarat halalnya hubungan suami istri.
Masalah nasab anak yang lahir karena kasus married by accident ini, ada dua kategori sebagai pilihan hukum. Pertama, hukum Islam murni atas dasar hadis Nabi tentang nasab yang tidak mungkin terbentuk kecuali melalui pernikahan, baik nikah yang sah, nikah fasid maupun melalui hubungan badan secara syubhat. Kedua, hukum Islam Indonesia atas dasar Pasal 42 UU Perkawinan jo. Pasal 99 KHI tentang kedudukan anak dan Pasal 53 tentang kawin hamil.[4]

D.    Status Anak Menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Nasab atau hubungan kekerabatan antara seorang anak dan ayah kandungnya dapat terbentuk memalui tiga cara, yaitu melalui pernikahan yang sah, pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat. Sedangkan nasab anak kepada ibu kandungnya dapat terbentuk melalui proses persalinan atau kelahiran.
Nasab anak kepada ayah kandungnya, pada umumnya terbentuk melalui pernikahan yang sah. Dalam hal ini seorang suami adalah sebagai pemilik ranjang yang sah atau al-firasy sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih di bawah ini:
Hadis ini diriwayatkan memalui Muhammad bin Ziyad, ia berkata, saya mendengar Abu Hurairah berkata bahwa Nabi bersabda: ‘Anak hanya bisa bernasab dengan laki-laki yang memiliki ranjang yang sah, sedangkan pezina hanya mendapatkan batu (rajam)’. (HR. Al-Bukhari)
Atas dasar hadis ini, para ulama bersepakat bahwa perzinaan tidak bisa membentuk nasab anak kepada ayah kandungnya. Bahkan mengenai nasab anak zina ini, Ibnu Hazm menegaskan, anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya, ia juga memiliki hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan kemahraman dan berbagai macam ketentuan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Selanjutnya akan di kemukakan beberapa kutipan menurut para ulama, baik kalangan salaf maupun khalaf/kontemporer mengenai proses menasabkan atau pengakuan-pengakuan nasab anak kepada seorang ayah atau kepada seseorang yang pernah berzina dengan ibu kandung anak yang disengketakan.
Dr. Abdul Aziz AL-Fauzan berkata, para ulama sepakat menyatakan bahwa jika ada seorang wanita bersuami atau seorang budak melahirkan anak, lalu si suami atau sang tuan/majikan itu tidak menyangkal tentang nasab anak yang dilahirkannya itu, lalu jika tiba-tiba ada lelaki lain yang pernah berzina dengan wanita bersuami atau budak itu mengklaim anak yang dilahirkan itu sebagai anaknya, maka pengakuan itu sama sekali tidak bisa diterima dan bayi itu tetap bernasab kepada suami atau majikan dan tidak mungkin bernasab dengan laki-laki yang mengaku pernah menzinainya.
Ibnu Qudamah berkata bahwa para ulama sepakat jika ada seorang wanita yang bersuami, lalu tiba-tiba datang seorang lelaki lain yang mengaku bahwa anak yang diasuh wanita bersuami itu sebagai anak kandungnya, maka pengakuan ini tidak bisa diterima. Perbedaan pendapat terjadi, apabila si wanita tidak memiliki suami, lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki mengaku pernah berhubungan badan dengan wanita tersebut dan mengaku anak yang diasuhnya itu sebagai anaknya, bagaimana kekuatan pengakuan ini.
Itulah pendapat ulama mengenai nasab anak kepada ayah kandungnya atau kepada lelaki yang pernah berzina. Dari beberapa paparan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa jika pengakuan nasab datang dari seseorang terhadap anak yang lahir dari seorang wanita yang berstatus sebagai istri atau budak, jelas pengakuan nasab dari seorang laki-laki itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sedangkan dalam hal jika pengakuan nasab itu datang kepada anak yang lahir dari seorang wanita yang berstatus lajang. Baik janda maupun perawan yang jelas-jelas tidak memiliki seorang suami. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama, dikemukan oleh Urwah bin Zubair, Salman bin Yasar, Abu Hanifah, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, An-Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Al-Qayyim. Mereka menyatakan bahwa anak zina tetap bisa dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu kandungnya, jika memang lelaki itu mengakuinya dan benar-benar si wanita itu tidak bersuami dan bukan berstatus budak. Pendapat kedua, dikemukakan oleh ulama mazhab empat dan ulama mazhab Azh-Zhahiriyah adalah, anak zina tidak bisa bernasab dengan ayah biologisnya, walaupun ia mengakuinya, anak zina itu hanya bisa bernasab dengan ibu kandungnya.
Dengan demikian, rumusan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi “Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut,” jelas bertentangan dengan kandungan hadis shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang sah adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang sah bukan sekedr lahir “dalam” perkawinan yang sah. Sebab kalau denga menggunakan kata “dalam”, berarti yang penting pada saat anak itu lahir, orangtuanya sebagai pasangan zina itu telah terikat dalam sebuah pernikahan.
Pasal 99 KHI ini dikutip langsung dari Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI berpotensi mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman jahiliah, sebab UU No.1 Tahun 1974 ini di satu sisi tidak mengakui anak yang lahir di luar perkawinan, hanya karena pernikahan kedua orangtuanya tidak dicatat, di sisi lain anak yang diproses melalui perzinaan justru dianggap sebagai anak yang sah. Dengan syarat pada saat anak itu lahir bapak dan ibunya telah menikah.
Al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dikutip oleh Imam An-Nawawi berkata:
Adalah kebiasan masyarakat jahiliah menetapkan nasab anak melaui perzinaan, mereka menyewakan budak-budak perempuan untuk berzina, jika ada seorang budak mengaku bahwa anak yang dilahirkan itu berasal dari benih seorang laki-laki yang pernah menidurinya, maka mereka menetapkan nasab anak yang lahir itu kepadanya. Ajaran agama Islam hadir untuk membatalkan tradisi buruk ini. Lalu menetapkan dasar pembentukan nasab berdasarkan kepemilikan ranjng secara syar’i/perkawinan yang sah.[5]

E.     Anak Zina dan Kawin Hamil dan Wasiat Wajibah dalam Hukum Islam
Anak zina juga masuk dalam kategori “maulud” anak yang dilahirkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:
Dari Abu Hurairah  berkata, Rasulullah saw bersabda: ‘Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) sehingga adalah kedua orangtuanya yang membuat ia beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR Ahmad, Ad-Darini, An-Nasa’i, Ibnu Jabir, Ibnu Hibban, Ath-Thabrani, Al-Hakim, Abu Na’im, Dan Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadis ini dapat dikemukan, bahwa setiap bayi tanpa kecuali, termasuk yang lahir dalam kasus perselingkuhan, samen leven, perzinaan, dan dalam kondisi normal tetap dalam kondisi bersih suci tanpa dosa sedikit pun. Dalam kaitan ini, masyarakat terkadang belum bisa memahami makna kata fitrah sebagaimana hadis di atas. Ada sebagian yang berpendapat bahwa oleh karena setiap bayi yang lahir itu tetap dianggap bersih tanpa dosa, maka sudah selayaknya kalau anak itu tidak diberikan sanksi-sanksi tertentu dan ia harus dibebaskan dari berbagai tuntutan hukum. Oleh sebab itu, demikian komentar sebagian warga masyarakat, anak zina tidak boleh diperlakukan secara khusus apalagi dicap sebagai anak haram, anak kotor, anak jadah, dan beberapa gelar negatif lain, termasuk disebutkan bahwa anak zina untuk selamanya tidak akan pernah mempunyai nasab dengan ayah biologisnya, dan akan sangat merugikan bagi perkembangan psikis anak tersebut.
Akibat perbuatan zina, maka orangtuanya dihukum dengan dicegahnya menikmati anugerah anak yang dilahirkanyya, ia tidak memiliki hubungan nasab, dan beberapa hak lain yang mengiringinya. Beberapa konsekuensi ini bagi orang yang bersih dan mukhlish, ia tentu akan paham, bahwa hal itu sebagai hukuman. Akan tetapi, bagi manusia yang hatinya kotor, al-mujrimun (para pendosa) dipastikan tidak akan bisa memahami konsep hukuman Allah yang selembut ini. Mereka justru akan mengatakan, jika tidak boleh memberi nafkah, tidak boleh jadi wali, dan tidak boleh memberikan harta warisan kepada anak zina, maka justru “kebeneran” malah jadi enak, tidak perlu repot-repot mengurus dan bertanggung jawab atas anak yang lahir dalam perzinaan ini.
Masalah lain yang sering terjadi di masyarakat adalah married by accident atau kawin hamil sebaimana diuraikan di atas. Dalam Pasal 53 ayat 1 sampai dengan ayat 3 KHI disebutkan sebagai berikut. (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, (2) Pekawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkanyya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pernyataan mengapa tim perumusan KHI menggunakan kata “dapat” pada rumusan Pasal 53 ayat (1) ini? Tentu saja hal ini dimaksudkan sebagai langkah antisipatif. Sebab dalam kasus hamil di luar, bisa saja terjadi kehamilan akibat perkosaan. Dalam kasus hamil karena perkosaan, sudah barang tentu wanita korban perkosaan itu tidak akan pernah dikawinkan dengan pria pemerkosa. Sehingga rumusan pasal ini bisa berbunyi seorang wanita hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.[6]
Sebab boleh jadi disebagian tempat ada tokoh agama yang melarang wanita hamil untuk menikah dengan pria yang menghamilinya atau dengan pria lain yang bersedia menikahinya dengan menggunakan QS. Ath-Thalaq (65) ayat 4 sebagai dalil. Tidak hanaya itu, hal ganjil juga dapat terjadi, yaitu berusaha agar si anak bernasab dengan ayah biologisnya. Oleh sebab itu, setelah si wanita melahirkan, ia langsung dinikahkan ulang. Hal ini merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak berdasar sehingga perlu sosialisasi secara simultan di masyarakat tentang isi Pasal 53 KHI.
Sementara itu, terkait masalah wasiat wajibah di Indonesia, disebutkan oleh KHI Pasal 209 sebagai berikut.
1.      Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orangtua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2.      Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.
Pasal ini membahas mengenai jatah waris bagi orangtua angkat dan anak angkat. Akan tetapi, karena tidak mendapatkan warisan, maka oleh ulama Indonesia mereka tetap diberi jatah dengan nama wasiat wajibah. Ditambah lagi fatwa MUI juga menyebut bahwa anak zina juga dapat diberi bagian harta ayah biologisnya dengan nama wasiat wajibah pula. Anak zina sama dengan orangtua angkat dan anak angkat karena tidak memperoleh warisan sekaligus tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tetapi hanya kepada ibu kandungnya. Hal ini menurut MUI bukan sebagai bentuk diskriminasi terhadap anak, melainkan sebagai upaya memelihara nasab.
Harus diaki bahwa di Indonesia banyak sekali salah kaprah dalam penggunaan istilah wasiat wajibah. Sementara itu, dalam undang-undang hukum keluarga di Mesir, Yordania, dan Syiria penyebutan wasiat wajibah berbeda jauh dengan ulama Indonesia. Kalau di tiga negara tersebut, wasiat wajibah ialah wasiat yang wajib diberikan kepada seorang cucu yatim yang ditinggal meninggal terlebih dahulu oleh ayah kandungnya. Cucu ini harus diberi wasiat wajibah karena menurut hukum waris klasik, cucu ini terhijab atau terhalang hak warisnya oleh paman. Tentang wasiat wajibah untuk cucu di Mesir dan Syiria ini dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili sebagai berikut. Wasiat wajibah yang diambil oleh UU Hukum Keluarga Mesir (Pasal 76) berlaku bagi anak laki-laki yang meninggal pada saat ayah kandungnya masih hidup. Sementara itu \, dalam UU Hukum Keluarga Syiria (Pasal 257), wasiat wajibah berlaku untuk cucu dari anak laki-laki yang meninggal pada saat ayah kandungnya masih hidup, tetapi tidak berlaku bagi cucu dari anak perempuan.
Dari penjelasan Az-Zuhaili ini dapat diketahui bahwa, baik di Mesir maupun di Syiria, wasiat wajibah diberikan kepada cucu yang ayahnya telah wafat terlebih dahulu. Hal ini ditempuh demi keadilan, sebab cucu yatim itu akan sangat menderita jika harus dihalangi hak kewarisannya oleh paman. Oleh sebab itu, agar tetap mendapatkan jatah bagian harta, ia diberikan wasiat wajibah. Sementara itu di Indonesia, sebelum Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012, wasiat wajibah hanya diberikan kepada orangtua angkat dan anak angkat.
Disinilah letak salah kaprah yang dimaksudkan. Pada saat negara lain, seperti Mesir dan Syiria, menyebut wasiat wajibah untuk cucu yatim, Indonesia menggunakan istilah yang sama untuk orangtua angkat dan anak angkat. Terakhir, MUI mengeluarkan fatwa agar anak zina juga mendapat jatah dari harta ayah biologisnya melalui jalur wajibah ini. Selanjutnya, bagaimana dengan Indonesia, yaitu mengenai nasib cucu yatim yang oleh negara Mesir dan Syiria diberi jatah wasiat wajibah. Indonesia berani tampil beda dalam menggunakan istilah. Terhadap cucu yatim yang bisa terlantar jika masih berpatokan dengan ilmu waris klasik itu, Indonesia menggunakan istilah ahli waris pengganti sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 185 KHI, yaitu
1.      Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173;
2.      Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti[7]

F.     Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Anak Luar Nikah
Sebelum diuraikan dampak putusan MK tentang anak luar nikah, terlebih dahulu dikemukakan bahwa putusan MK ini sangat kontroversial dan bahkan menjadi polemik yang belum kunjung berakhir. Buntut dari putusan MK ini, Majelis Ulama Indonesian (MUI) mengeluarkan Fatwa No.11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
a.      Alasan-Alasan Permohonan Uji Materiil UU Perkawinan
Sejumlah alasan yang diajukan oleh pihak Pemohon dalam permohonan uji materiil UU Perkawinan ini dikemukakan, bahwa Pemohon merupakan pihak secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkna kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan.
Alasan berikutnya bahwa hak konstitusioanl Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaiman dijamin dalam Pasa 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut. Pasal-pasal pokok dalam UUD 1945 yang terkait hak asasi manusia itu merupakan alasan kuat bahwa pihak Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatlan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Sebab ternyata hak konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU Pekawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dam merugikan karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
Akibatnya, demikian alasan lebih lanjut yang diajukan oleh pihak Pemohon, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD 1945 dinyatakan anak terlantar saja, yang statusnya orangtuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara. Akan tetap, kenyataannya hal yang berbeda diperlakukan terhadap anak Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak menghendaki sesuatu yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum berdasarkan norma hukum.
Selanjutnya dikemukakan berbagai argumentai kuat oleh pihak Pemohon bahwa dalam kedudukannya sebagaimana diterangkan di atas, telah terbukti Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan, khusunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang tidak dicatatkan. Maksud dan tujuan UU Perkawinan berkaitan pencatatan perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar perkawinan sehingga hanya mempunya hubungan perdata dengan ibunya. Kenyataan ini telah memberikan ketidakpastian secara hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan tang tumbuh dan hidup di masyarakat, sehingga merugikan pihak Pemohon.
Dengan pernyataan yang sangat meyakinkan pihak Pemohon mengemukakan bahwa kelahiran anak Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran tnpa sebab, tetapi sebagai hasil hubungan kasih-sayang antara kedua orangtuanya (Pemohon dan suaminya), namun akibat dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya.
Tegasnya, demikian pihak Pemohon mengajukan argumentasinya, UU Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat secara objektif-empiris telah memasung hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia untuk meperoleh keoastian hukum dan terbebas dari rasa cemas, ketakutan, dan diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya. Bukankah Van Apeldoorn dalam bukunya Incleiding tot de Rechswetenschap in Nederland menyatakan bahwa tuuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai.
b.      Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku:, dan Pasal 43 ayat (1) UU I/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untk mendapatkan status hukum anak; Selanjutnya menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan.
Mahkamah juga berpendapat bahwa berdasarkan Penjelasan UU I/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkainan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkwainan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksudkan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 281 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akte otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang besangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian ini, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-maat karena adanya ikatan perkwinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Mahkamah Konstitusi menimbang berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU I/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Sebagai konklusi dari pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: Pertama, Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo ; Ketiga, pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Akhirnya Mahkamah Konstitusi menyampaikan amar putusan dengan memgadili dan menyatakan Pertama, Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Kedua, Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No.1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; Kaetiga, Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No.1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Keempat, Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; Kelima, Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.[8]

Kesimpulan
Pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit diantara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan salah satunya adalah penyalahgunaan penggunaan fasilitas teknologi seperti internet, yang dengan begitu mudah kita mengakses website yang berisi materi berbau porno. Sehingga banyak remaja yang terpengaruh dan mencobanya tanpa berpikir panjang akibat yang akan terjadi dengan perbuatannya itu.
Kasus-kasus hamil di luar nikah yang sah pun, marak bermunculan dampak dari kekurangan pemahaman tentang seks, hal ini sangat menimbulkan kegaduhan terhadap status anak yang lahir dari perbuatan yang sembrono tersebut.
Hendaknya rasa takut dan tunduk kepada Allah akan dosa-dosa yang akan diberikanya kepada para penzina lebih di takuti, ketimbang rasa malu terhadap manusia atas akibat dari perbuatan yang mereka lakukan.



















[1]Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Gratifikasi & Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014, Hal. 82.
[2]Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2012, Hal. 143.
[3] Nur Haya, Fenomena Hamil Di Luar Nikah, diakses dari http://nurhaya1990.blogspot.co.id/2014/06/makalah-fenomena-hamil-diluar-nikah-mba.html, pada tgl 25 November pukul 22.30.
[4] Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam Op.Cit, hal. 144-150
[5][5] Ibid, hal. 150-161                                                                                                       
[6] Ibid, hal. 161-169
[7] Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Gratifikasi & Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, Op.Cit, hal. 87-89
[8]  Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Op.Cit, hal.170-192

Komentar

  1. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 2 Mei 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    BalasHapus
  2. Harrah's Cherokee Casino Resort | Goyang County
    Our exciting hotel and casino 러시안룰렛가사 resort 포커 디펜스 is 재제 located just outside Harrahs Cherokee, in North Carolina. We offer luxury accommodations, 리드 벳 signature 라이브 스코어 restaurants,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Pengangkutan

Keutamaan Al-Quran