Hukum Pajak 'Subjek Pajak, Objek Pajak dan Penghasilan Kena Pajak'
A.
SUBJEK PAJAK
Tafsiran tentang subjek pajak tidak diberikan dalam Pasal 1 UU No.
6 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.17 Tahun 2000. Subjek
pajak adalah orang, badan, atau kesatuan lainnya yang memenuhi syarat-syarat
subjek, yaitu yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Pajak yang
subjektif (atau pribadi) adalah pajak yang besarnya ikut ditentukan oleh
keadaan dan status wajib pajak (bujangan, kawin, kawin dengan anak dan sebagainya).
Pajak yang objektif adalah pajak yang besarnya tidak dipengaruhi oleh keadaan
atau status wajib pajak, melainkan ditentukan semata-mata oleh keadaan objek,
seperti Cukai Tembakau,Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Pertambahan Nilai, dan
sebagainya.
1.
Subjek
pajak dalam Negeri
Subjek pajak
dibedakan dalam subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri (Pasal 2
ayat (2) UU PPh 1984) sebagaimana telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000. Yang
dimaksud subjek pajak dalam negeri (Pasal 2 (3) UU No. 17 Tahun 2000) adalah :
·
Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
·
Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
·
Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan mengantikan yang berhak.
·
Bentuk
usaha tetap, yang mana berupa :
a.
Tempat
kedudukan manajemen;
b.
Kantor
cabang;
c.
Kantor
perwakilan;
d.
Agen;
e.
Gedung
kantor;
f.
Pabrik;
g.
Bengkel;
h.
Proyek
konstruksi;
i.
Pertambangan
dan penggalian sumber alam;
j.
Perikanan;
k.
Tenaga
ahli;
l.
Pemberian
jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang atau badan yang berkedudukan
tidak bebas, yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak
didirikan atau tidak bertempat kedudukandi Indonesia;
m.
Perusahaan,
asuransi yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.
2.
Subjek
pajak luar negeri (Pasal 2 (4) UU.17 Tahun 2000)
Yang dimaksud
dengan subjek pajak luar negeri adalah subjek pajak yang tidak bertempat tinggal
di indonesia, tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. Subjek Pajak Luar Negeri
adalah :
a.
Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b.
Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sesuai dengan kebiasaan internasional, subjek pajak luar negeri
dikaitkan kepada asas sumber. Asas sumber ialah asas pemungutan yang menentukan
bahwa orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar negeri,
hanya dapat dikenakan pajak dari
penghasilan yang keluar dari
sumber yang ada di negara pemunggut pajak.
3.
Bermula
dan berahirnya subjek pajak
Orang mulai
menjadi subjek pajak dalam negeri apabila :
·
Pada
saat ia dilahirkan di Indonesia.
·
Pada
saat ia menetap di Indonesia (datang dari luar negeri).
·
Pada
awal masa ia berada di Indonesia yang melebihi 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan secara berturut-turut.
Orang sebagai subjek pajak dalam negeri berhenti menjadi subjek
pajak pada :
-
Saat
ia meninggal dunia.
-
Saat
ia meninggalkan Indonesia selama-lamanya.
B.
OBJEK PAJAK
a.
Yang
dapat dijadikan objek pajak yaitu segala sesuatu yang ada dalam masyarakat
dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun
peristiwa. Dalam bahasa Jerman disebut tatbestand. Misalnya:[1]
-
Keadaan : kekayaan seseorang pada saat tertentu, memiliki kendaraan
bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak bergerak, menempati
rumah tertentu (tetap).
-
Perbuatan
: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah
atau gedung, mengadakan pertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan,
berpergian keluar negeri.
-
Peristiwa
: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak,
anugrah yang diperoleh secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi
di luar kehendak manusia.
Dapat dibedakan objek dari pajak langsung dan objek pajak tidak
langsung. Pada pajak tidak langsung, besarnya pajak tidak dipengaruhi oleh
keadaan wajib pajaknya (Cukai,PPN), tetapi objeknya saja yang menentukan. Pada
pajak langsung besarnya pajak yang dikenakan pada objek masih dapat dipengaruhi
oleh keadaan wajib pajak (kawin, tidak kawin, kawin mempunyai anak, dan sebagainya).
1.
Objek
pajak pendapatan
Pendapatan
dijadikan objek pajak pendapatan (Ordonansi PPd 1944, Stb.1944 No.17). dalam
ordonansi tersebut pendapatan didefinisikan sebagai gunggungan jumlah uang atas
nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari :
a.
Usaha
dan tenaga.
b.
Barang
tak bergerak.
c.
Harta
gerak.
d.
Hak
atas bayaran berkala.
2.
Objek
pajak perseroan.
C.
PENGHASILAN KENA PAJAK
Penghasilan
kena pajak adalah jumlah yang terhadapnya diterapkan tarif pajak penghasilan.
Penghasilan kena pajak disingkat PKP, dihitung dari jumlah bruto penghasilan.
Semua penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dijumlahkan menjadi
satu. Penghasilan bruto yang dimaksud adalah penghasilan sesuai dengan Pasal 4
ayat (1) UU PPh tidak termasuk penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan penghasilan yang dikecualikan
dari objek pajak. Biaya yang dimaksud adalah biaya-biaya atau pengeluaran sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Jadi pada garis besarnya, penghasilan kena
pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
·
Hasil
bruto sumber.
·
Biaya-biaya
langsung sumber (pasal 6 ayat (1)).
·
Sisa
hasil usaha koperasi.
·
PTKP.
·
Kompensasi
vertical (Pasal 6 ayat (3)).
·
Penggabungan
dengan penghasilan dan kerugian istri dan anak yang menjadi tanggungannya.
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 (selanjutnya disebut objek
PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 yaitu :
1. Deviden.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah
dipotong pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara kegiatan
sehubungan dengan pelaksaan suatu kegiatan.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.
D.
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi mulai 1 Januari 2015 mengalami perubahan dari
Rp. 24,300,000 per tahun menjadi Rp. 36,000,000 per tahun atau mengalami
kenaikan 48.15%. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Walaupun diundangkan pada tanggal 29 Juni 2015, peraturan ini
berlaku untuk tahun pajak 2015 sehingga perghitungan PPh Pasal 21 untuk masa
pajak bulan Juli sampai dengan Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP
baru, sedangkan SPT masa PPh Pasal 21 untuk masa pajak dari bulan Januari 2015
sampai dengan Juni 2015 yang sudah dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama,
harus dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP baru. Adapun besarnya
perubahan PTKP selengkapnya adalah sebagai berikut:
Uraian
|
PTKP
|
|
Sebelumnya
(Rp)
|
Sekarang
(Rp)
|
|
Wajib
Pajak Orang Pribadi
|
24,300,000
|
36,000,000
|
Tambahan
untuk Wajib Pajak Kawin
|
2,025,000
|
3,000,000
|
Tambahan
untuk seorang istri yang yang perhasilannya digabung dengan penghasilan suami
|
24,300,000
|
36,000,000
|
Tambahan
untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga
|
2,025,000
|
3,000,000
|
Sehingga perhitungan PKTP dalam pelaporan Pajak PPh
Pasal 21 untuk Wajib Pajak selengkapnya adalah sebagai berikut:
Status Wajib Pajak
|
Kode
|
PTKP (Rp)
|
Wajib
Pajak Tidak Kawin
|
TK/0
|
36,000,000
|
Wajib
Pajak Tidak Kawin dengan satu orang tanggungan
|
TK/1
|
39,000,000
|
Wajib
Pajak Tidak Kawin dengan dua orang tanggungan
|
TK/2
|
42.000.000
|
Wajib
Pajak Tidak Kawin dengan tiga orang tanggungan
|
TK/3
|
45.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin
|
K/0
|
39.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dengan satu orang tanggungan
|
K/1
|
42.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dengan dua orang tanggungan
|
K/2
|
45.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dengan tiga orang tanggungan
|
K/3
|
48.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami
|
K/I/0
|
75.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan
satu orang tanggungan
|
K/I/1
|
78.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan
dua orang tanggungan
|
K/I/2
|
81.000.000
|
Wajib
Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan
tiga orang tanggungan
|
K/I/3
|
84.000.000
|
E.
TARIF PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur,
yaitu tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka
atau persetase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi :[2]
1.
Tarif
Tetap
Adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapapun
besarnya dasar pengenaan pajak. Di Indonesia, tarif tetap diterapkan pada bea
materai. Pembayaran dengan menggunakan cek atau bilyet giro untuk berapapun
jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp 6.000. Bea materai juga dikenakan atas
dokumen-dokumen atau surat perjanjian tertentu yang ditetapkan dalam peraturan
yang ditetapkan dalam peraturan tentang Bea Materai. Contoh :
No.
|
Dasar Pengenaan Pajak
|
Tarif Pajak
|
1
|
Rp 1.000.000
|
Rp 6.000
|
2
|
Rp 2.000.000
|
Rp 6.000
|
3
|
Rp 5.750.000
|
Rp 6.000
|
4
|
Rp 50.000.000
|
Rp 6.000
|
2.
Tarif
Proporsional (sebanding)
Tarif proporsional adalah tarif berupa persentase tertentu yang
sifatnya tetap terhadap berapapun dasar pengenaan pajaknya. Makin besar dasar
pengenaan pajak, makin besar pola jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan
secara proporsional atau sebanding. Di Indonesia tarif proporsional diterapkan
pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal 23 (tarif 15% dan 2%
untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri, dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1) b
atau 28% untuk tahun 2009 serta 25% untuk tahun 2010, dan seterusnya), dan lain
lain. Contoh :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Utang
Pajak
|
1
|
Rp 1.000
|
10%
|
Rp
100
|
2
|
Rp 20.000
|
10%
|
Rp 2.000
|
3
|
Rp 500.000
|
10%
|
Rp 50.000
|
4
|
Rp 90.000.000
|
10%
|
Rp 9.000.000
|
3.
Tarif
Progresif (Meningkat)
Tarif progresif adalah tarif berupa persentase tertentu yang makin
meningkat dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif
dibedakan menjadi tiga :
a.
Tarif
progresif proporsional, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat
dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut
adalah tetap. Tarif progresif proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk
menghitung PPh. Tariff ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun
1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983. Contoh :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan
Tarif
|
1
|
Sampai
dengan Rp 10.000.000
|
15%
|
-
|
2
|
Di
atas Rp 10.000.000 s.d Rp 25.000.000
|
25%
|
10%
|
3
|
Di
atas Rp 25.000.000
|
35%
|
10%
|
b.
Tarif
progresif-progresif, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat
dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut juga
makin meningkat. Contoh :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan
% Tarif
|
1
|
Sampai dengan
Rp 25.000.000
|
10%
|
-
|
2
|
Di atas Rp 25.000.000
s.d Rp 50.000.000
|
15%
|
5%
|
3
|
Di atas Rp
50.000.000
|
30%
|
15%
|
Tarif
ini pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung pajak penghasilan. Tarif
ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam
Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun 2001, jenis tarif ini masih
diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008, tetapi hanya untuk wajib pajak
badan dan bentuk usaha tetap dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak
sebagai berikut :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif Pajak
|
Kenaikan % Tarif
|
1
|
Sampai dengan Rp 50.000.000
|
10%
|
-
|
2
|
Di atas Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.000
|
15%
|
5%
|
3
|
Di atas Rp 100.000.000
|
30%
|
15%
|
c.
Tarif
Progresif Degresif, tarif berupa persentase tertentu yang makinmeningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut makin
menurun. Contoh :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Kenaikan
% Pajak
|
1
|
Rp
50.000.000
|
10%
|
-
|
2
|
Rp
100.000.000
|
15%
|
5%
|
3
|
Rp
200.000.000
|
18%
|
3%
|
4 .
Tarif
Degresif (menurun), tarif berupa persentase tertentu yang makin menurun dengan
makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Contoh :
No.
|
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
1
|
Rp
50.000.000
|
30%
|
2
|
Rp
100.000.000
|
20%
|
3
|
Rp
200.000.000
|
10%
|
Tarif
degresif ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
a.
Tarif
degresif-proporsional adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya sama
besar. Tarif degresif-proporsional masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu
tarif degresif-proporsional absolute dan tarif degresif-proporsional
berlapisan. Contoh tarif degresif-proporsional absolut :
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan Tarif
|
Jumlah
Pajak
|
Rp
10.000.000
|
s.d. Rp
10.000.000 = 25%
|
-
|
RP
2.500.000
|
Rp
20.000.000
|
Diatas Rp
10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 20%
|
5%
|
Rp
4.000.000
|
Rp
30.000.000
|
Diatas Rp
20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
|
5%
|
Rp
4.500.000
|
Rp
40.000.000
|
Diatas Rp 30.000.000
= 20%
|
5%
|
Rp
4.000.000
|
Contoh tarif pajak degresif-proporsional berlapisan :
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan
Pajak
|
Jumlah
Pajak
|
Rp
100.000.000
|
s.d. Rp
10.000.000 = 25%
|
-
|
Rp
2.500.000
|
Rp
200.000.000
|
Diatas Rp
10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 20%
|
5%
|
Rp
4.500.000
|
Rp
300.000.000
|
Diatas Rp
20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
|
5%
|
Rp
6.000.000
|
Rp
400.000.000
|
Diatas Rp
30.000.000 = 10%
|
5%
|
Rp
7.000.000
|
b.
Tarif
degresif-progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar
pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya semakin
besar. Tarif degresif-progresif dibagi menjadi dua yaitu tarif
degresif-progresif absolut dan tarif degresif-progresif berlapisan. Contoh
tarif degresif-progresif absolut:
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan
Pajak
|
Jumlah
Pajak
|
Rp
10.000.000
|
s.d. Rp
10.000.000. = 40%
|
-
|
Rp
4.000.000
|
Rp
20.000.000
|
Diatas Rp
10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 35%
|
5%
|
Rp
7.000.000
|
Rp
30.000.000
|
Diatas Rp
20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 25%
|
10%
|
Rp
7.500.000
|
Rp
40.000.000
|
Diatas Rp
30.000.000 = 10%
|
15%
|
Rp
4.000.000
|
Contoh tarif degresif-progresif berlapisan :
Dasar Pengenaan
Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan
Pajak
|
Jumlah
Pajak
|
Rp
100.000.000
|
s.d. Rp
10.000.000. = 40%
|
-
|
Rp
4.000.000
|
Rp
200.000.000
|
Diatas Rp
10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 35%
|
5%
|
Rp
7.500.000
|
Rp
300.000.000
|
Diatas Rp
20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 25%
|
10%
|
Rp
10.000.000
|
Rp
400.000.000
|
Diatas Rp
30.000.000 = 10%
|
15%
|
Rp
11.000.000
|
c.
Tarif
degresif-degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika
dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya semakin
kecil. Tarif ini dibagi menjadi dua macam yaitu tarif degresif-degresif absolut
dan tarif degresif-degresif berlapisan. Contoh tarif degresif-degresif absolut
:
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan
Tarif
|
Jumlah
Pajak
|
Rp
10.000.000
|
s.d. Rp
10.000.000 = 40%
|
-
|
Rp
4.000.000
|
Rp
20.000.000
|
Diatas Rp 10.000.000
s.d. Rp 20.000.000 = 25%
|
15%
|
Rp
5.000.000
|
Rp
30.000.000
|
Diatas Rp 20.000.000
s.d. Rp 30.000.000 = 15%
|
10%
|
Rp
4.500.000
|
Rp
40.000.000
|
Diatas Rp
30.000.000 = 10%
|
5%
|
Rp
4.000.000
|
Contoh
tarif degresif-degresif berlapisan :
Dasar
Pengenaan Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Penurunan
Tarif
|
Jumlah Pajak
|
Rp
100.000.000
|
s.d. Rp 10.000.000.
= 40%
|
-
|
Rp 4.000.000
|
Rp
200.000.000
|
Diatas Rp 10.000.000
s.d. Rp 20.000.000 = 25%
|
15%
|
Rp 6.500.000
|
Rp
300.000.000
|
Diatas Rp
20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
|
10%
|
Rp 8.000.000
|
Rp
400.000.000
|
Diatas Rp
30.000.000 = 10%
|
5%
|
Rp 9.000.000
|
F.
BENTUK USAHA TETAP
Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau juga
badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap dapat berupa :[3]
·
Tempat
kedudukan managemen.
·
Cabang
perusahaan.
·
Kantor
perwakilan.
·
Gedung
kantor.
·
Pabrik.
·
Bengkel.
·
Pertambangan
dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk
eksploitasi pertambangan.
·
Perikanan,
peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
·
Proyek
kontruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
·
Pemberian
jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
·
Orang
atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
·
Agen
atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung risiko di Indonesia.
G.
JENIS PAJAK PENGHASILAN
Jenis pajak penghasilan dapat dibagi menjadi :[4]
·
PPh
Pasal 4 ayat (2) atau lebih dikenal dengan sebutan PPh Final, adalah
penghasilan yang dikenal pajak yang sifatnya final atau tidak bisa dikreditkan.
Yang termasuk ke dalam PPh Final yaitu : penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan lainnya, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
tanah atau bangunan.
·
PPh
Pasal 21, penghasilan yang dikenakan PPh pasal 21 yaitu : pemberi kerja yang
memberi gaji dan lain sebagainya, bendahara pemerintah yang membayar gaji dan
lain sebagainya, dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun, badan yang membayar
honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk
jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
·
PPh
Pasal 22, penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 22 yaitu : bendahara pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain, wajib pajak badan
tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
·
PPh
Pasal 23, penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 yaitu : bunga termasuk
premium (diskonto, dan imbalan) karena jaminan pengembalian utang, deviden
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deviden dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis dan pembagian atas sisa hasil usaha koperasi, hadiah,
sewa dan penghasilan lain, imbalan sehubungan dengan jasa (jasa teknik, jasa
manajemen, jasa kontruksi dan jasa konsultan).
PPh
Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan
yang terutang menurut surat pemberitahuan pajak penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan kredit pajak dibagi 12 ataubanyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
[1]
Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, ( Bandung : PT Refika
Aditama, 2004), hlm. 95
[2]
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Jakarta : Salemba Empat, 2016),
hlm. 14
[3]
Erly Suandy, Hukum Pajak, ( Jakarta : Salemba Empat, 2002), hlm.49
[4]
http://bengkelpajak.blogspot.co.id/2011/09/jenis-jenis-pajak-penghasilan-pph
Komentar
Posting Komentar