Hukum Pajak 'Subjek Pajak, Objek Pajak dan Penghasilan Kena Pajak'



   A.   SUBJEK PAJAK
Tafsiran tentang subjek pajak tidak diberikan dalam Pasal 1 UU No. 6 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.17 Tahun 2000. Subjek pajak adalah orang, badan, atau kesatuan lainnya yang memenuhi syarat-syarat subjek, yaitu yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Pajak yang subjektif (atau pribadi) adalah pajak yang besarnya ikut ditentukan oleh keadaan dan status wajib pajak (bujangan, kawin, kawin dengan anak dan sebagainya). Pajak yang objektif adalah pajak yang besarnya tidak dipengaruhi oleh keadaan atau status wajib pajak, melainkan ditentukan semata-mata oleh keadaan objek, seperti Cukai Tembakau,Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Pertambahan Nilai, dan sebagainya.
1.      Subjek pajak dalam Negeri
Subjek pajak dibedakan dalam subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri (Pasal 2 ayat (2) UU PPh 1984) sebagaimana telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000. Yang dimaksud subjek pajak dalam negeri (Pasal 2 (3) UU No. 17 Tahun 2000) adalah :
·         Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia  dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
·         Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
·         Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan mengantikan yang berhak.
·         Bentuk usaha tetap, yang mana berupa :
a.       Tempat kedudukan manajemen;
b.      Kantor cabang;
c.       Kantor perwakilan;
d.      Agen;
e.       Gedung kantor;
f.       Pabrik;
g.      Bengkel;
h.      Proyek konstruksi;
i.        Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j.        Perikanan;
k.      Tenaga ahli;
l.        Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang atau badan yang berkedudukan tidak bebas, yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukandi Indonesia;
m.    Perusahaan, asuransi yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.
2.      Subjek pajak luar negeri (Pasal 2 (4) UU.17 Tahun 2000)
Yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah subjek pajak yang tidak bertempat tinggal di indonesia, tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia. Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
a.       Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b.      Orang pribadi yang tidak  bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sesuai dengan kebiasaan internasional, subjek pajak luar negeri dikaitkan kepada asas sumber. Asas sumber ialah asas pemungutan yang menentukan bahwa orang atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dikenakan pajak dari  penghasilan  yang keluar dari sumber yang ada di negara pemunggut pajak.
3.      Bermula dan berahirnya subjek pajak
Orang mulai menjadi subjek pajak dalam negeri apabila :
·         Pada saat ia dilahirkan di Indonesia.
·         Pada saat ia menetap di Indonesia (datang dari luar negeri).
·         Pada awal masa ia berada di Indonesia yang melebihi 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan secara berturut-turut.
Orang sebagai subjek pajak dalam negeri berhenti menjadi subjek pajak pada :
-          Saat ia meninggal dunia.
-          Saat ia meninggalkan Indonesia selama-lamanya.

    B.   OBJEK PAJAK
a.       Yang dapat dijadikan objek pajak yaitu segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa. Dalam bahasa Jerman disebut tatbestand. Misalnya:[1]
-          Keadaan : kekayaan seseorang pada saat tertentu, memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak bergerak, menempati rumah tertentu (tetap).
-          Perbuatan : melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau gedung, mengadakan pertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan, berpergian keluar negeri.
-          Peristiwa : kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugrah yang diperoleh secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.
Dapat dibedakan objek dari pajak langsung dan objek pajak tidak langsung. Pada pajak tidak langsung, besarnya pajak tidak dipengaruhi oleh keadaan wajib pajaknya (Cukai,PPN), tetapi objeknya saja yang menentukan. Pada pajak langsung besarnya pajak yang dikenakan pada objek masih dapat dipengaruhi oleh keadaan wajib pajak (kawin, tidak kawin, kawin mempunyai  anak, dan sebagainya).
1.      Objek pajak pendapatan
Pendapatan dijadikan objek pajak pendapatan (Ordonansi PPd 1944, Stb.1944 No.17). dalam ordonansi tersebut pendapatan didefinisikan sebagai gunggungan jumlah uang atas nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari :
a.       Usaha dan tenaga.
b.      Barang tak bergerak.
c.       Harta gerak.
d.      Hak atas bayaran berkala.
2.      Objek pajak perseroan.

   C.   PENGHASILAN KENA PAJAK
Penghasilan kena pajak adalah jumlah yang terhadapnya diterapkan tarif pajak penghasilan. Penghasilan kena pajak disingkat PKP, dihitung dari jumlah bruto penghasilan. Semua penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dijumlahkan menjadi satu. Penghasilan bruto yang dimaksud adalah penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak termasuk penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Biaya yang dimaksud adalah biaya-biaya atau pengeluaran sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Jadi pada garis besarnya, penghasilan kena pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
·         Hasil bruto sumber.
·         Biaya-biaya langsung sumber (pasal 6 ayat (1)).
·         Sisa hasil usaha koperasi.
·         PTKP.
·         Kompensasi vertical (Pasal 6 ayat (3)).
·         Penggabungan dengan penghasilan dan kerugian istri dan anak yang menjadi tanggungannya.
Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 (selanjutnya disebut objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 yaitu :
1.      Deviden.
2.      Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
3.      Royalti.
4.      Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri orang pribadi yang berasal dari penyelenggara kegiatan sehubungan dengan pelaksaan suatu kegiatan.
5.      Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6.      Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh.

   D.   PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi mulai 1 Januari 2015 mengalami perubahan dari Rp. 24,300,000 per tahun menjadi Rp. 36,000,000 per tahun atau mengalami kenaikan 48.15%. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tanggal 29 Juni 2015 Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Walaupun diundangkan pada tanggal 29 Juni 2015, peraturan ini berlaku untuk tahun pajak 2015 sehingga perghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak bulan Juli sampai dengan Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru, sedangkan SPT masa PPh Pasal 21 untuk masa pajak dari bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2015 yang sudah dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama, harus dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP baru. Adapun besarnya perubahan PTKP selengkapnya adalah sebagai berikut:
Uraian
PTKP
Sebelumnya
(Rp)
Sekarang
 (Rp)
Wajib Pajak Orang Pribadi
24,300,000
36,000,000
Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin
2,025,000
3,000,000
Tambahan untuk seorang istri yang yang perhasilannya digabung dengan penghasilan suami
24,300,000
36,000,000
Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga
2,025,000
3,000,000


Sehingga perhitungan PKTP dalam pelaporan Pajak PPh Pasal 21 untuk Wajib Pajak selengkapnya adalah sebagai berikut:



Status Wajib Pajak
Kode
PTKP (Rp)
Wajib Pajak Tidak Kawin
TK/0
36,000,000
Wajib Pajak Tidak Kawin dengan satu orang tanggungan
TK/1
39,000,000
Wajib Pajak Tidak Kawin dengan dua orang tanggungan
TK/2
42.000.000
Wajib Pajak Tidak Kawin dengan tiga orang tanggungan
TK/3
45.000.000
Wajib Pajak Kawin
K/0
39.000.000
Wajib Pajak Kawin dengan satu orang tanggungan
K/1
42.000.000
Wajib Pajak Kawin dengan dua orang tanggungan
K/2
45.000.000
Wajib Pajak Kawin dengan tiga orang tanggungan
K/3
48.000.000
Wajib Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami
K/I/0
75.000.000
Wajib Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan satu orang tanggungan
K/I/1
78.000.000
Wajib Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan dua orang tanggungan
K/I/2
81.000.000
Wajib Pajak Kawin dan penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, dengan tiga orang tanggungan
K/I/3
84.000.000

  E.   TARIF PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persetase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi :[2]
1.      Tarif Tetap
Adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapapun besarnya dasar pengenaan pajak. Di Indonesia, tarif tetap diterapkan pada bea materai. Pembayaran dengan menggunakan cek atau bilyet giro untuk berapapun jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp 6.000. Bea materai juga dikenakan atas dokumen-dokumen atau surat perjanjian tertentu yang ditetapkan dalam peraturan yang ditetapkan dalam peraturan tentang Bea Materai. Contoh :
No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
1
Rp 1.000.000
Rp 6.000
2
Rp 2.000.000
Rp 6.000
3
Rp 5.750.000
Rp 6.000
4
 Rp 50.000.000
Rp 6.000

2.      Tarif Proporsional (sebanding)
Tarif proporsional adalah tarif berupa persentase tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun dasar pengenaan pajaknya. Makin besar dasar pengenaan pajak, makin besar pola jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan secara proporsional atau sebanding. Di Indonesia tarif proporsional diterapkan pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal 23 (tarif 15% dan 2% untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri, dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1) b atau 28% untuk tahun 2009 serta 25% untuk tahun 2010, dan seterusnya), dan lain lain. Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Utang Pajak
1
                      Rp 1.000
10%
Rp 100
2
                      Rp 20.000
10%
   Rp 2.000
3
                      Rp 500.000
10%
     Rp 50.000
4
                      Rp 90.000.000
10%
         Rp 9.000.000

3.      Tarif Progresif (Meningkat)
Tarif progresif adalah tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga :
a.       Tarif progresif proporsional, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut adalah tetap. Tarif progresif proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tariff ini diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983. Contoh :

No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan Tarif
1
Sampai dengan Rp 10.000.000
15%
-
2
Di atas Rp 10.000.000 s.d Rp 25.000.000
25%
10%
3
Di atas Rp 25.000.000
35%
10%

b.      Tarif progresif-progresif, tarif berupa persentase tertentu yang makin meningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak dan kenaikan persentase tersebut juga makin meningkat. Contoh :


No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif
1
Sampai dengan Rp 25.000.000
10%
-
2
Di atas Rp 25.000.000 s.d Rp 50.000.000
15%
5%
3
Di atas Rp 50.000.000
30%
15%

Tarif ini pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung pajak penghasilan. Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun 2001, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun 2008, tetapi hanya untuk wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak sebagai berikut :
No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Tarif
1
Sampai dengan Rp 50.000.000
10%
-
2
Di atas Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.000
15%
5%
3
Di atas Rp 100.000.000
30%
15%

c.       Tarif Progresif Degresif, tarif berupa persentase tertentu yang makinmeningkat dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut makin menurun. Contoh :
No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Kenaikan % Pajak
1
Rp 50.000.000
10%
-
2
Rp 100.000.000
15%
5%
3
Rp 200.000.000
18%
3%

4 .      Tarif Degresif (menurun), tarif berupa persentase tertentu yang makin menurun dengan makin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Contoh :


No.
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
1
Rp 50.000.000
30%
2
Rp 100.000.000
20%
3
Rp 200.000.000
10%

            Tarif degresif ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
a.       Tarif degresif-proporsional adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya sama besar. Tarif degresif-proporsional masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu tarif degresif-proporsional absolute dan tarif degresif-proporsional berlapisan. Contoh tarif degresif-proporsional absolut :

Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 10.000.000
s.d. Rp 10.000.000 = 25%
-
RP 2.500.000
Rp 20.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 20%
5%
Rp 4.000.000
Rp 30.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
5%
Rp 4.500.000
Rp 40.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 20%
5%
Rp 4.000.000

Contoh tarif pajak degresif-proporsional berlapisan :

Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Pajak
Jumlah Pajak
Rp 100.000.000
s.d. Rp 10.000.000 = 25%
-
Rp 2.500.000
Rp 200.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 20%
5%
Rp 4.500.000
Rp 300.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
5%
Rp 6.000.000
Rp 400.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 10%
5%
Rp 7.000.000

b.      Tarif degresif-progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya semakin besar. Tarif degresif-progresif dibagi menjadi dua yaitu tarif degresif-progresif absolut dan tarif degresif-progresif berlapisan. Contoh tarif degresif-progresif absolut:



Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Pajak
Jumlah Pajak
Rp 10.000.000
s.d. Rp 10.000.000. = 40%
-
Rp 4.000.000
Rp 20.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 35%
5%
Rp 7.000.000
Rp 30.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 25%
10%
Rp 7.500.000
Rp 40.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 10%
15%
Rp 4.000.000

Contoh tarif degresif-progresif berlapisan :

Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Pajak
Jumlah Pajak
Rp 100.000.000
s.d. Rp 10.000.000. = 40%
-
Rp 4.000.000
Rp 200.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 35%
5%
Rp 7.500.000
Rp 300.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 25%
10%
Rp 10.000.000
Rp 400.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 10%
15%
Rp 11.000.000


c.       Tarif degresif-degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya penurunan dari tarifnya semakin kecil. Tarif ini dibagi menjadi dua macam yaitu tarif degresif-degresif absolut dan tarif degresif-degresif berlapisan. Contoh tarif degresif-degresif absolut :

Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 10.000.000
s.d. Rp 10.000.000 = 40%
-
Rp 4.000.000
Rp 20.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 25%
15%
Rp 5.000.000
Rp 30.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
10%
Rp 4.500.000
Rp 40.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 10%
5%
Rp 4.000.000

                


Contoh tarif degresif-degresif berlapisan :
Dasar Pengenaan Pajak
Tarif Pajak
Penurunan Tarif
Jumlah Pajak
Rp 100.000.000
s.d. Rp 10.000.000. = 40%
-
Rp 4.000.000
Rp 200.000.000
Diatas Rp 10.000.000 s.d. Rp 20.000.000 = 25%
15%
Rp 6.500.000
Rp 300.000.000
Diatas Rp 20.000.000 s.d. Rp 30.000.000 = 15%
10%
Rp 8.000.000
Rp 400.000.000
Diatas Rp 30.000.000 = 10%
5%
Rp 9.000.000


   F.     BENTUK USAHA TETAP
Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.  Bentuk usaha tetap dapat berupa :[3]
·         Tempat kedudukan managemen.
·         Cabang perusahaan.
·         Kantor perwakilan.
·         Gedung kantor.
·         Pabrik.
·         Bengkel.
·         Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksploitasi pertambangan.
·         Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
·         Proyek kontruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
·         Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
·         Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
·         Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung risiko di Indonesia.


    G.    JENIS PAJAK PENGHASILAN
Jenis pajak penghasilan dapat dibagi menjadi :[4]
·         PPh Pasal 4 ayat (2) atau lebih dikenal dengan sebutan PPh Final, adalah penghasilan yang dikenal pajak yang sifatnya final atau tidak bisa dikreditkan. Yang termasuk ke dalam PPh Final yaitu : penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah atau bangunan.
·         PPh Pasal 21, penghasilan yang dikenakan PPh pasal 21 yaitu : pemberi kerja yang memberi gaji dan lain sebagainya, bendahara pemerintah yang membayar gaji dan lain sebagainya, dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun, badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
·         PPh Pasal 22, penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 22 yaitu : bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain, wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
·         PPh Pasal 23, penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 yaitu : bunga termasuk premium (diskonto, dan imbalan) karena jaminan pengembalian utang, deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian atas sisa hasil usaha koperasi, hadiah, sewa dan penghasilan lain, imbalan sehubungan dengan jasa (jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi dan jasa konsultan).
PPh Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan kredit pajak dibagi 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.





[1] Dewi Kania Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2004), hlm. 95
[2] Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Jakarta : Salemba Empat, 2016), hlm. 14
[3] Erly Suandy, Hukum Pajak, ( Jakarta : Salemba Empat, 2002), hlm.49
[4] http://bengkelpajak.blogspot.co.id/2011/09/jenis-jenis-pajak-penghasilan-pph

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Pengangkutan

Keutamaan Al-Quran

Tafsir Ayat Zakat