Tafsir Ayat Zakat
A.
Surah At-Taubah ayat 60
a.
Teks Ayat dan Terjemahan
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengelola-pengelolanya, para mu’allaf, serta untuk para budak, orang-orang yang
berhutang, dan pada sabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang telah diwajibkan Allah. Dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana”. (At-Taubah: 60)
b.
Makna Mufradat
الصَّدَقَاتُ
Jamak dari kata al-shadaqah, yang berarti harta yang dengannya dang
pemilik bisa mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja umumnya ahli tafsir
sepakat bahwa tanpa menafikan sama sekali pelibatan sedekah-sedekah nafilah
(sunnah), yang dimaksud dengan kata shadaqat di dalam ayat ini adalah
zakat dalam konteksnya sebagai sedekah yang diwajibkan (wajib hukumnya)[1].
لِلْفُقَرَاءِ(Hanyalah
untuk orang-orang fakir) yaitu orang yang tidak dapat menemukan peringkat
ekonomi yang dapat mencukupi mereka. الْمَسكِيْنِوَ (orang-orang miskin) yaitu mereka yang sama sekali tidak
dapat menemukan apa-apa yang dapat menculupi mereka
وَالْعمِلِيْنَ عَلَيهَا (Pengurus-pengurus
zakat) yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya,
juru tulisnya, dan yang mengmpulkannya
وَالْمُؤَلّفَةِ قُلُوبُهُمْ (Para
muallaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan
keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal
dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum muslim. Muallaf itu
bermacam-macam jenisnya; Menurut pendapat Imam Syafii, jenis muallaf pertama
dan yang terakhir pada masa sekarang (Zamannya Imam Syafii, pent.) tidak berhak
lagi untuk mendapatkan bagianya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua
jenis muallaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian
وَفِى (Dan untuk)
memerdekakan –الرِّقَابِ
(budak-budak)
yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab
وَالْغَارِمِيْنَ (Orang-orang
yang berhutang) orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila
ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat Adapun
( بن السبيل) Ibnu as-sabil yang secara harfiah berarti ”anak
jalanan”, maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapapun yang kehabisan
bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di negeri asalnya
فَرِيضَةً (Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan) lafaz faridatan
dinasabkan oleh fi’il yang keberadaannya diperkirakan[2]
c.
Makna Global
Secara umum, ayat diatas berisikan perintah Allah
kepada Nabi, pejabat negara, atau pihak yang berwenang (amilin) supaya
memungut sedekah –khususnya zakat- dari sebagian harta yang dipunyai masyarakat
muslim, untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat luas yang termasyk ke
dalam salah satu dari delapan kelompok social ekonomi yang dipetakan Alquran.
Di antara tujuan dari pemungutan zakat khususnya dan sedekah pada umumnya ialah
untuk membersihkan harta kekayaan di satu pihak dan membangun kesejahteraan
social ekonomi masyarakat yang tidak/kurang mampu di pihak lain.
Selain itu, ayat di atas juga menganjurkan
pihak-pihak penerima zakat supaya mendoakan muzakki, mutashaddiq, atau munfiq
terutama di saat-saat menerima zakat dari mereka. Sebab, doa itu memiliki dampak positif tersendiri bagi si pembayar
zakat, yaitu berupa ketentraman jiwanya. Delapan kelompok mustahik zakat
yang dimaksud adalah (1) orang-orang fakir, (2) orang-orang miskin, (3) amilin,
(4) mu’allafah qulubuhum, (5) riqab, (6) gharimin, (7) sabilillah,
dan (8) ibnu sabil, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada makna mufradat.
Memerhatikan ayat di atas, yang selain dipandang sebagai ayat
induk, juga lazim dianggap sebagai paket ayat zakat, tampak menunjukan
keunggulan Alquran yang sangat jitu dalam meng-cover semua kelompok
social dalam konteks kesejahteraan sosial ekonomi umat dan masyarakat yang
benar-benar adil dan merata. Betapa tidak, dengan memilah kesejahteraan
kelompok sosial ekonomi ke dalam delapan ashnaf, tidak ada satupun kelompok
sosial yang tidak terjamin kesejahteraan sosial ekonomi dan keuangannya, tanpa
membeda-bedakan antara status sosial maupun jenis kelaminnya. Pada awalnya dana
zakat diarahkan kepada kelompok sosial yang paling rentan ekonomi dan
keuangannya, dalam hal ini kelompok yang diberi predikat fakir dan miskin (fuqara’
wa al-masakin), kemudian baru dikembangkan kepada amilin yang
pekerjaan utamanya justru memobilisasi dana zakat itu sendiri, dan baru
kemudian untuk kelompok-kelompok sosial lain yang sejatinya kesejahteraan
sosialnya tidak terlalu buruk. Hanya saja, karena alasan tertentu, terutama
akibat kelalaian (tanggung jawab) orang atau pihak lain, mereka mengalami
kesulitan kesejahteraan sehingga harus diberikan semacam dana “tambahan”
melalui pembagian (distribusi) dana zakat atau sedekaah-sedekah lainnya dengan
melalui cara dan mekanisme yang sangat profesional, prosedural, dan
proporsional.
d.
Tafsir Ayat
Di antara karakter manusia terkait dengan kehidupannya ialah sangat
mencintai harta, bahkan seringkali mencintainya terlalu berlebihan seperti
hanya orang-orang munafik dan orang-orang yang lemah iman yang tidak akan
pernah rela dengan ketentuan Nabi Allah terkait dengan soal pembagian harta
sebagaimana tertera dalam ayat 69 Surah al-Taubat sebelum ini. Mencermati
perilaku orang-orang munafik dan lemah
iman itu, lalu Allah menetapkan pembagian sedekah melalui ayat di atas, yang
pada intinya menegaskan bahwa berbagai harta sedekah itu hanya diperuntukan
bagi kaum fakir dan miskin serta ashnaf-ashnaf yang lainnya yang telah
disebutkan sebelum ini. Sampai kapanpun, tidak boleh diproyeksikan untuk
kelompok-kelompok sosial mereka yang disebutkan di dalam ayat ini, yaitu al-fuqara,
al-masakin, al-‘amilina ‘alaiha, al-mu’allafah qulubuhum, al-riqab, al-gharimi,
sabilillah, dan ibnu sabil. Diantara hal yang menarik pada ayat
diatas ialah penggunaan huruf lam pada kata-kata:
Adapun kata fi pada redaksi
Menurut Muhammad Mahmud Hijazi, rahasia penggunaan huruf lam
yang lebih mencerminkan kepemilikan (li al-tamlik), ini mengisyaratkan
kepemilikan yang bersifat perorangan atau individual, sementara yang
menggunakan kata fi, tidak mengisyaratkan kepemilikan perseorangan,
tetapi lebih mencerminkan pada sifat-sifat kelembagaan (institusional) dalam
pengertian lebih mengedepankan kepentingan umum kaum muslimin.
Yaitu sedekah-sedekah ini, khususnya zakat berikut pembagiannya
yang definitive itu, adalah merupakan ketentuan Allah yang bersifat mengikat
bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Atas dasar ini pula maka secara prinsip,
pemberian sedekah kepada orang-orang yang secara hukum menjadi tanggung
jawabnya dalam hal pemenuhan nafkah mereka terutama anak dan istri bahkan kedua
orangtua, tidaklah dibenarkan. Bahkan menurut sebagian ulama, di antaranya Abu
Hanifah, memberikan dana zakat kepada cucu hukumnya tidak boleh. Demikian juga
dengan dana zakat yang tidak boleh diberikan kepada kakek-nenek dan orang-orang
yang terlibat langsung dengan pekerjaan yang melekat dengan dirinya, seperti
sekertaris manajer dan lain-lainnya.
Yaitu, Allah yang Mahatahu dan Mengetahui makhluk-Nya, termasuk
mengetahui kebutuhan dan kecenderungan manusia beserta tingkah lakunya, lagi
Maha Bijaksana dalam hal penentuan syariat-Nya, termasuk pembagian harta-harta
sedekah itu. Mengingat Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, sungguh
pada tempatnya jika orang-orang beriman tidak lagi berupaya mengutak-atik
alokasi dana sedekah, khususnya zakat bagi kepentingan di luar delapan ashnaf
yang telah ditetapkan oleh Alquran tersebut.
e.
Istinbat hukum
1) Hukum sedekah khususnya zakat, pada dasarnya adalah wajib bagi setiap
mukmin dan mukminat yang memiliki harta kekayaan, tanpa membeda-bedakan jenis
kelamin, usia, serta jenis profesi apa pun yang dijalani muzakki, sepanjang profesi itu diperbolehkan (mubah).
2) Orang yang berhak menerima (mustahik)
dana zakat, infak, sedekah, pada dasarnya sudah ditentukan oleh nash (tesk
wahyu), yaitu delapan ashnaf sebgai
berikut: (1) al-fuqara, (2) al-masakin,(3) al-‘amilina ‘alaiha,(4)
al-mu’allafah qulubuhum, (5) al-riqab, (6) al-gharimi, (7) sabilillah, dan
(8) ibnu sabil. Di luar delapan ashnaf ini, tidak ada ashnaf lain yang berhak menerima dan atau
menggunakan dana zakat atau sedekah
lainnya.
3) Fungsi dari pengeluaran sedekah, infak, atau
terutama zakat adalah dalam rangka membersihkan jiwa para muzakki, munfiq, dan
mutashaddiq itu sendiri dari kotoran atau dosa penyakit kikir dan
sejenis lainnya.
4) Ketentuan penarikan, pengelolaan, dan distribusi
sedekah dan infak khususnya zakat kepada delapan ashnaf mustahik zakat,
itu merupakan ketentuan Allah, Dzat yang Maha mendengar, Mahatahu, dan Maha
Bijaksana yang bersifat mengikat dan jika perlu memaksa[3]
B.
Surah Al-Ma’arij
: 24-25
a.
teks ayat dan terjemahannya
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
مَعْلُومٌ (٢٤) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (٢٥)
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)(Q.S.
Al-Ma’arij : 24-25)
b.
makna mufradat
حَقٌّ مَّعْلُومٌ : Bagian tertentu yang telah
ditentukan oleh Allah, Sang Pembuat syariat, misalnya zakat.
لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ : Orang yang meminta-minta sedekah dan orang yang tidak meminta-minta karena memiliki rasa malu dan menjaga harga diri.
c. Makna Global
Disamping
mengerjakan shalat untuk mengingat dan menghambakan diri kepada Allah, manusia
memperintahkan agar selalu meneliti harta yang telah dianugrahkan Allah
kepadanya; apakah dalam harta itu telah atau belum ada hak orang miskin yang
meminta-minta, dan orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu apa pun. Jika ada hak mereka, segera mengeluarkan hak itu.
Karena dia percaya bahwa selama ada hak orang lain dalam hartanya itu, berarti
hartanya belum lagi suci, Allah SWT. Berfirman: ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.
Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa: dan orang-orang
dalam harta mereka ada hak yakni bagian tertentu yang mereka peruntukkan
bagi orang-orang yang butuh yang meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa
tetapi enggan dan malu meminta dan juga orang-orang yang mempercayai
keniscayaan hari pembalasan, sehingga mempersiapkan bekal.
Sementara ulama memahami makna haqqun ma’lum atau hak
tertentu dalam arti zakat, karena zakat adalah kewajiban yang telah tertentu
kadarnya. Ulama lain memahaminya dalam arti kewajiban yang ditetapkan sendiri
oleh yang bersangkutan selain zakat dan yang mereka berikan secara suka rela
dan jumlah tertentu kepada fakir miskin. Ini karena ayat di atas dikemukakan
dalam konteks pujian, dan tentu saja pendapat kedua ini lebih menonjol sifat
terpujinya.
Kaitanya dengan Tema :
Ayat diatas
menunjukkan bahwa menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkatan
pada harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak.
Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak
akan memperoleh keberkatan, dan tidak akan berkembang biak dengan baik, bahkan
kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut, sehingga lenyap sama sekali
dari tangan pemiliknya, sebagai hukuman Allah SWT terhadap pemiliknya. Perlu
diketahui, bahwa walaupun perintah Allah SWT dalam ayat ini pada lahirnya
ditujukan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan
peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia juga berlaku terhadap semua
pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum Muslimin, untuk
melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat
tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan kemudian
membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya.
Dengan
demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif
untuk membina kesejahteraan masyarakat.
d.
Tafsir Ayat
Akhir ayat yang lalu menguraukan sifat bawaan manusia secara umum dan
mengecualikan dalam arti memuji orang-orang yang melakukan shalat secara tetap
sebagai orang-orang yang menggunakan secara baikpotensi yang dianugrahkan Allah
itu. Ayat itu sekaligus menggambarkan juga harmonisnya hubungan yang
bersangkutan dengan Allah swt.Kini melalui ayat di atas digambarkan
keharmonisan hubungan mereka dengan anggota masyarakat apalagi kaum lemah.
Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa: dan orang-orang yang dalam harta
mereka ada hak yakni bagian tertentu yang mereka pertunjukan bagi
orang-orang yang butuh – yang meminta dan yang tidak mempunyai apa-apa tetapi
enggan dan malu malu meminta dan juga orang-orang yang memercayai
keniscayaan hari pembalasan, sehingga mempersiapkan bekal.
Sementara ulama memahami makna (
معلومحقّ ) haqqun ma’lim /hak tertentu dalam arti zakat, karena
zakat adalah kewajiban yang telah tertentu kadarnya. Ulama lain memahaminya
dalam arti kewajiban yang ditetapkan sendiri oleh yang bersangkutan –selain
zakat- dan yang mereka berikan secara suka rela dan jumlah tertentu kepada
fakir miskin. Ini karena ayat di atas dikemukakan dalam konteks pujian, dan
tentu saja pendapat kedua ini lebih menonjol sifat terpujinya.
Apapun
maknanya, yang jelas salah satu sikap terpuji mereka yang dipahami dari
pemberiannya kepada al-mahrum adalah bahwa mereka berusaha mencari siapa
yang butuh lalu memberinya tanpa diminta.
C.
Surah
Adz-Dzariyaat : 19
a. teks ayat dan terjemahannya
وَفِي
اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian. (Q.S.
Adz-Dzariyaat : 19)
b. Makna
Mufradat
حق :bagian
yang banyak yang mereka wajibkan bagi mereka sendiri untuk menyerahkannya sebagai pendekatan kepada Tuhan
dan belas kasih terhadap hamba-hambaNya[4]
السا ئل : orang yang meminta pemberian dan derma.
المحروم : Akar katanya ha’-ra’-mim maknanya berkisar pada arti
al-man’ atau tercegah, terhalangi dan lain sebagainya. Kata al-mahrum pada ayat
ini adalah orang yang tidak diberi keluasan rezeki. Sebagai ahli tafsir mengartikannya sebagai orang yang menjaga diri dari
meminta-minta, padahal dirinya dalam kekurangan. Sebagian lagi mengartikannya
dengan orang yang terkena malapetakan terhadap tanamannya atau hewannya.
c.
Asbab An-Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Ibnu Jarir
dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah bahwa
suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan sariyahnya. Lalu pasukan tersebut berhasil meraih
kemenangan dan memperoleh ganimah. (ketika kan
dilangsungkan pembagian) datang suatu kaumorang untuk
meminta bagian dari harta tersebut[5].
Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini.
d. Tafsir Ayat
Banyak
sekali pendapat ulama mengenai makna (المحروم)
tetapi sebagian diantaranya merupakan cotoh-contoh dari orang-orang yang wajar
dinamai mahrum. Konon asy-sya’bi salah seorang yang hidup pada masa sahabat
Nabi saw, pernah berkata: “Telah berlalu usiaku sebanyak tujuh puluh tahun
sejak aku dewasa, aku belum memahami apa yang dimaksud
dengan al-mahrum[6]
Tapi ada salah satu sumber yang menyatakan bahwa kosakata dari ayat
tersebut adalah (المحروم) maknanya berkisar pada arti
al-man’atau tercegah, terhalangi dan lain sebagainya. Sebagian ahli tafsir mengartikannya sebagai orang yang
menjaga diri dari meminta-minta, padahal dirinya dalam kekurangn. Sebagian lagi
mengartikannya dengan orang yang terkena malapetaka terhadap tanamannya atau
hewanya.
Ayat ini menerangkan bahwa disamping mereka melaksanakan sholat wajib dan
sunnah, mereka juga selalu megeluarkan infaq fi sabilillah deangan cara
mengeluarkan zakat atau sumbangan derma atau songkongan sukarela karena mereka
memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu untuk meminta.
Selain
itu juga diperkuat dengan Allah berfirman bahwa, “dan harta-harta
mereka ada hak” yaitu bagian yang dipisahkan dan dikhususkan untuk orang yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian. Adapun orang yang
meminta-minta itu, maka sudah diketahui, yaitu orang yang memulai upayanya
dengan jalan meminta-minta dan orang yang seperti itu ada haknya. Adapun yang
dimaksud dengan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian, maka Ibnu Abbas r.a
dan yang lainnya mengatakan, “dia adalah orang yang bernasib buruk yang tidak
mendapatkan bagian dalam islam, yaitu tidak mendapatkan dari
baitul mal, dia tidak mempunyai usaha dan keahlian yang dapat dijadikan pegangan untuk kehidupan sehari-hari”[7]
Kaitan Ayat
Dengan Tema
Bahwa kita
diciptakan harus bisa saling mengerti, dalam artian meskipun kita sudah
mempunyai harta yang banyak karena bisa bekerja dan bisa menghasilkan suatu
karya, maka jangan lupa dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Terutama
orang-orang yang membutuhkan. Karena setiap harta yang kita miliki pasti ada
harta mereka. Dan kita harus bisa mendistribusikan dengan baikmelalui zakat,
infaq dll.
e. Muhasabah
Dalam ayat ini, Allah Swt, menerangkan hal ihwal orang yang bertaqwa dan
berbagai kenikmatan yang mereka jumpai dalam surga sebagai imbalan dan pahala
dari Allah Swt.[8][5] atas kebajikan dan amal shaleh mereka ketika di dunia yakni memberi
harta sebagai sumbangan atau zakat kepada fakir miskin.
Kesimpulan
Surat Adz-Dzariyaat ayat 19
Surat Adz-Dzariyaat ayat 19
Ayat ini menerangkan bahwa disamping
mereka melaksanakan sholat wajib dan sunnah, mereka juga selalu megeluarkan
infaq fi sabilillah deangan cara mengeluarkan zakat atau sumbangan derma atau
songkongan sukarela karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu
ada hak fakir miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian
karena merasa malu untuk meminta.
Surat Al-Ma’arij ayat 24-25
Ayat-ayat di atas menyatakan
bahwa: dan orang-orang dalam harta mereka ada hak yakni bagian tertentu yang
mereka peruntukkan bagi orang-orang yang butuh yang meminta dan yang tidak
mempunyai apa-apa tetapi enggan dan malu meminta dan juga orang-orang yang
mempercayai keniscayaan hari pembalasan, sehingga mempersiapkan bekal.
Surat At-Taubah ayat 60
Hukum sedekah khususnya zakat, pada dasarnya
adalah wajib bagi setiap mukmin dan mukminat yang memiliki harta kekayaan,
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, usia, serta jenis profesi apa pun yang
dijalani muzakki, sepanjang profesi
itu diperbolehkan (mubah). Orang yang berhak menerima (mustahik) dana zakat, infak, sedekah, pada dasarnya sudah
ditentukan oleh nash (tesk wahyu), yaitu delapan ashnaf sebgai berikut: (1) al-fuqara, (2) al-masakin,(3)
al-‘amilina ‘alaiha,(4) al-mu’allafah qulubuhum, (5) al-riqab, (6) al-gharimi, (7)
sabilillah, dan (8) ibnu sabil. Di luar delapan ashnaf ini, tidak ada ashnaf lain yang
berhak menerima dan atau menggunakan dana zakat
atau sedekah lainnya.
[1] Prof. Dr .H. Muhammad amin suma,SH,MA,MM, Tafsir Ayat Ekonomi (Jakarta: amzah, 2013) hal 183
[2] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain,
Jilid I, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2010) hal 600
[3] Prof. Dr .H. Muhammad amin suma,SH,MA,MM, Tafsir Ayat Ekonomi (Jakarta: amzah, 2013) hal 183
[5] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan
Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I, diterjemahkan oleh
Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) hal 935
[7] Ar-rifa’i nasib, Taisiru
al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Kastir, jilid 4 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), hal. 471
Komentar
Posting Komentar